Cerita dari Solo, Cerita Indonesia
Indonesia adalah bangsa dengan masyarakat yang majemuk. Tersebar di pulau-pulau di Nusantara, masyarakat terdiri dari beragam suku, berbeda-beda keyakinan dan agama, serta bervariasi budaya serta bahasanya. Sejak ratusan tahun silam, warga asing juga diterima untuk tinggal dan beranak-keturunan di negeri ini.
Keberagaman adalah kekuatan Indonesia. Dengan kesadaran ini, maka para pendiri bangsa memutuskan untuk membangun satu modern nation state (negara bangsa modern) yang bercorak nasionalis dan memayungi semua kelompok masyarakat yang berbeda-beda itu. Pancasila jadi pegangan bersama dengan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Dalam Undang-undang Dasar 1945, setiap kelompok masyarakat—apa pun ras, agama, dan golongannya—dilindungi konsitusi dan diperlakukan secara sederajat sebagai warga negara.
Ketika keberagaman itu berada dalam satu ruang bersama, maka semua kelompok bisa hidup dalam budaya asal sekaligus membuka diri untuk bersentuhan dengan kebudayaan lain. Proses ini menciptakan akulturasi yang kemudian melahirkan berbagai ekspresi budaya turunan yang unik. Proses ini tak berhenti, melainkan terus berjalan sehingga muncul keunikan-keunikan baru, termasuk saat bergaul dalam dunia global.
Semangat semacam itu diusung dalam pameran "Cerita dari Solo: Yang Tersua Dari Satu Masa" di Bentara Budaya Yogyakarta, 13-17 Juli 2023. Pameran menampilkan 101 foto karya 15 mahasiswa FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) yang tergabung dalam “Tim Studi Independen Multikulturalisme”. Mereka tinggal selama beberapa waktu di Kota Solo, Jawa Tengah, kemudian memotret kehidupan sehari-hari masyarakat.
Menarik mengamati foto-foto dalam pameran ini, terutama karena mampu mengangkat wujud keberagaman budaya (multikulturalisme) yang berdenyut nyata dalam kehdiupan masyarakat. Secara kasat mata, kita melihat bermacam ekspresi sehari-hari, mulai dari kuliner, kegiatan di pasar, arsitektur rumah, keraton, rumah ibadah, seni pertunjukan, naskah kuna (manuskrip), mural (lukisan dinding) sampai baju. Di balik semua itu, ada sejarah panjang proses akulturasi (pembauran budaya) dari kelompok masyarakat Jawa, keturunan Arab, Thionghoa, India, atau Barat (Amerika -Eropa).
Meski foto-foto itu diambil di Solo, sesungguhnya semangat akulturasi yang tertangkap dari pameran itu juga merupakan gambaran umum bangsa Indonesia. Pameran ini mengajak kita untuk lebih mengenali keanekaragaman budaya yang dapat berjalan beriringan, bahkan saling membaur, saling menghargai, sehingga membuat kehidupan kita semakin kaya. Semangat ini selalu penting untuk kita panggungkan.
Jika semangat itu terus tumbuh dalam gerakan semesta rakyat Indonesia, maka kita akan lebih mudah untuk mencegah gejala intoleransi yang masih meruak belakangan. Langkah itu kian relevan di tengah suhu politik yang menghangat menjelang Pemilu 2024. Sekeras apa pun kontestasi dalam pemilu, kita sepatutnya berusaha menahan diri agar tidak larut dalam permainan sentimen konflik antarkelompok masyarakat.
Terima kasih kepada 15 mahasiswa FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) yang tergabung dalam “Tim Studi Independen Multikulturalisme” yang telah blusukan di Solo, memotret, dan menampilkan foto-fotonya. Penghargaan untuk segenap civitas akademika UAJY dan Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang menyokong program ini. Apresiasi buat kurator dan semua kru Bentara Budaya yang membuat pameran ini terwujud dengan apik.
Palmerah, 12 Juli 2023
Ilham Khoiri
GM Bentara Budaya & Communication Management,
Corporate Communication, Kompas Gramedia