PELANTANG
Berawal dari sebuah koran lama bernama BENTARA HINDIA di jaman Belanda tahun 1912 yang menampilkan sebuah ilustrasi sosok Bentara (utusan raja). Utusan itu sedang menunggang kuda sambil mewartakan perintah raja dengan menggunakan PELANTANG atau corong. Dari ilustrasi inilah muncul gagasan memamerkan pelantang, mengiringi peringatan 40 tahun Bentara Budaya. Nama Bentara Budaya pertama kali dipilih oleh Sindhunata dan Gm Sudarta, yang saat itu menjadi wartawan Kompas, bersama Jakob Oetama selaku CEO Kompas Gramedia untuk menamai lembaga kebudayaan yang baru didirikannya. Nama Bentara dipilih sejalan dengan yayasan yang saat itu dimiliki Kompas Gramedia yaitu Yayasan Bentara Rakyat yang dibentuk oleh PK Ojong dan Jakob Oetama tanggal 16 Januari 1965. Semangat lembaga budaya yang baru ini adalah mewadahi titik temu antara aspirasi budaya yang pernah ada dan mentradisi dengan aspirasi yang sedang tumbuh, maka diberilah nama Bentara Budaya yang diresmikan di Yogyakarta pada tanggal 26 September 1982
Pameran Audio
Pelantang
Pelantang adalah sebuah alat untuk membuat suara menjadi nyaring atau biasa disebut pengeras suara. Di era sebelum ada listrik, pelantang dibuat dari lembaran logam seperti seng yang dibentuk menyerupai corong mengerucut dengan ukuran sekitar 60 sampai 70 cm tingginya dengan diameter 35 cm dan ditambahkan tangkai sebagai pegangannya. Pelantang memiliki nama yang berbeda di setiap daerahnya misalnya Wadah Kondo untuk di Yogyakarta, Banteran untuk wilayah Batu Malang, di Surakarta bernama Corong Sworo dan di pedesaan Jawa disebut Corong Congor karena membunyikannya menggunakan mulut (congor) sungguh nama-nama yang unik.
Pelantang ini dipergunakan dimasa lalu oleh utusan raja (bentara) untuk mewartakan kepada khalayak ramai tentang pengumuman kerajaan, kemudian untuk Azan dari Masjid masjid dan untuk mengumpulkan orang di pasar-pasar bahkan untuk komentator olahraga dan Pandu (pramuka) di alun-alun atau tanah lapang. Dalam perkembangannya Pelantang ini kemudian menjadi loudspeaker seperti Horn dan Megaphon dan terus berkembang dari waktu ke waktu.
Dengan ditemukannya listrik lalu muncul industri, Radio, Piringan Hitam, Tape Recorder dan lain lainnya yang membutuhkan alat untuk mengeraskan suaranya. Maka muncullah kemudian model salon-salon dari kayu di masa lalu yang bentuknya sangat beragam dari yang klasik sampai yang vintage dan sekarang bentuknya kotak speaker dengan bebagai merk. Dari merk Philip, Yamaha sampai merk Bosye. Itu semua yang akan kami pamerkan dalam pameran Audio Pelantang dengan tujuan untuk menambah wawasan pada generasi muda bagaimana perjalanan pengeras suara dari masa kemasa di Indonesia.
Pameran ini akan menampilkan pelantang dengan berbagai bentuk yang diproduksi sekitar tahun 1930-1950, dari yang berbentuk klasik disebut katedral sampai bentuk vintage atau jengki. Selain itu ada pula sejumlah pelantang garapan baru karya perupa Edi Sunaryo, Hermanu, Iwan Ganjar dan Didi Kapal. Dilengkapi pula dengan hadirnya puluhan salon radio, speaker kuno dan gramaphone. Semua akan dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta bekerja sama dengan Padmaditya, perkumpulan pecinta audio di Yogyakata, untuk memberikan wawasan tentang perjalanan pengeras suara dari masa ke masa di Indonesia.
Hermanu
Kurator Bentara Budaya