Membaca Ardus, Wartawan dan Pegiat Budaya
Rupanya sudah suratan, seseorang yang dekat di lingkungan kita, baru kita sadari kelebihannya ketika sudah tiada. Demikian yang terjadi pada sejumlah orang yang kita kenal akrab, demikian pula yang berlaku pada Ardus M Sawega. Yakni ketika membaca ulang sejumlah tulisan maupun karya jurnalistiknya, dan menelisik berbagai aktivitasnya.
Ada penjelasan sederhana mengapa hal itu terjadi. Betapapun jenius atau tenar kakak atau adik kita, dia tetaplah si jorok yang selalu dijewer karena tidak merapikan sprei ranjangnya. Orang hebat itu tetap anak kesayangan ibu yang sulit diatur, atau saudara kita yang tukang ngorok dan suka merebut mainan.
Singkat kata, bagi kita yang akrab dia adalah seorang manusia tak lebih tak kurang. Di mata khalayak ia terlihat lebih sebagai fungsi atau prestasi atau predikat atau kategori. Buku kumpulan tulisan ini menyajikan bagian yang “fungsi” atau “prestasi” tersebut, namun semoga bisa tetap menampilkan sisi manusiawi.
Kebetulan penulis catatan ini sudah mengenal baik Ardus sejak masih muda. Pada usia dewasa kami bekerja di penerbitan pers yang sama, yaitu suratkabar Kompas, dan lembaga kebudayaan yang sama pula, yaitu Bentara Budaya. Terkadang kami bersama meliput berita, dan secara rutin berembug (dan bertengkar) untuk berbagai kegiatan seni budaya.
Ardus muda adalah seorang pemimpi. Anda akan mudah menjumpai anak muda seperti dia di kota kecil kami, Solo. Utamanya di dalam kaitan dengan catatan ini adalah mereka yang bergaul dekat dengan kehidupan seni. Mimpi mereka umumnya adalah keadaan yang lebih baik. Tak pernah jelas apa “yang lebih baik” itu dan bagaimana mewujudkannya.
Pada masa awal tahun 1970-an itu, ketika Orde Baru baru seumur jagung, dan masih agak kikuk menancapkan kuku pada generasi yang baru, yang muncul adalah serial pelarangan. Mimpi para anak muda pegiat seni itu pun berbenturan dengan salah satu pelarangan, yaitu larangan berambut gondrong. Pada zaman itu rambut gondrong sering dikaitkan dengan prasangka umum atas kehidupan seniman yang dianggap slebor, nyentrik, atau bohemian.
Tentu saja berbicara tentang penampilan seseorang dan kaitannya dengan ide kebebasan, kesehatan ekosistem dunia seni, dan suburnya kreativitas, terasa mencari-cari. Meski demikian memang itulah yang terjadi. Seandainya dia masih ada saat ini, dia pasti akan tertawa kalau diingatkan soal yang naif dan artifisial tersebut.
Ardus tumbuh di wilayah kultural yang dekat dengan tradisi Jawa, termasuk dengan berragam keseniannya. Namun sebagai anak muda ia memilih menceburkan diri di dalam kancah kesenian modern, seperti teater. Ia salah satu peserta aktif dari Workshop Seni Teater yang diselenggarakan oleh Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang berpusat di Solo.
Saya menduga keterlibatan di dalam workshop teater tersebut ikut merangsangnya untuk mengenal lebih jauh tentang seni non-tradisi. Pada waktu itu pemisahan dan pembedaan --bahkan penghadapan-- antara budaya (seni) tradisi dan budaya (seni) modern sangat terasa. Masih segar di dalam ingatan tumpahnya kemarahan atas pertunjukan teater tari “Samgita Pancasona” karya Sardono W Kusumo yang dianggap “merusak” seni tradisi Jawa. Pelemparan telor busuk merupakan tanggapan yang nyata dan menjadi simbol perlawanan yang kisahnya masih bergaung sampai sekarang.
Ia mengalami periode awal dari pelembagaan atas pewarisan nilai-nilai tradisi dan pengkajiannya secara ilmiah di dalam dunia pendidikan. Ia bergaul erat dengan para pengajar dan mahasiswa di ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia), yang kemudian menjadi STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia), dan bermuara sebagai ISI (Institut Seni Indonesia). PKJT dan ASKI merupakan dua sejoli lembaga kebudayaan, yang berperan sentral di dalam menyemai gagasan tentang nilai-nilai modern ke pedalaman tradisi, secara sistematis dan berkelanjutan.
Kelak kesadaran atas dinamika hubungan antara tradisi dan modernitas banyak mewarnai tulisan-tulisannya, baik yang merupakan karya jurnalistik maupun karya tulis di dalam diskusi atau seminar. Tema itu juga terus membayanginya ketika bertugas sebagai pengarah di Bentara Budaya.
Seperti sejumlah wartawan segenerasinya, Ardus bukan pembelajar yang tekun di bangku pendidikan resmi. Ia lebih terkesan sebagai, katakanlah, pelaku learning by doing. Terjun langsung ke lapangan, berbekal teori sekedarnya, jatuh bangun untuk mendapat pemahaman menyeluruh. Demikian juga ketika harus menuliskannya di dalam format yang sesuai dengan kepentingan koran. Tulis dulu, berteori belakangan. Artinya, terus menerus belajar dari pengalaman.
Akumulasi pengalaman dalam menghadapi masalah langsung di pusat peristiwa itu diaduk dengan pengetahuan dari buku atau nara sumber. Demikianlah karya-karya tulisnya mencapai tahap tinggi yang diakui oleh banyak pihak. Pada gilirannya, itu jugalah yang menuntunnya untuk memahami bermacam fenomena kebudayaan, serta mengambil sikap yang tepat dan produktif sebagai pengelola lembaga kebudayaan.
Model belajar seperti itu tampaknya sesuai dengan irama kerja wartawan. Kita tahu wartawan harus terus memperbarui informasi, dan tiap hari dituntut untuk menguasai persoalan yang berbeda di dalam tenggat waktu singkat yang menekan. Semua orang dipaksa untuk aktif belajar dengan cara masing-masing. Ardus menjalaninya dengan pergaulan yang luas, utamanya di dalam persoalan kebudayaan, yang menjadi fokus dari kumpulan tulisannya ini. Bergaul erat dengan para seniman dan pegiat kebudayaan merupakan kunci utama.
Sebagian besar dari isi buku ini dipilih untuk mewakili bidang seni budaya apa saja yang paling sering, cukup banyak, atau pernah, digarapnya. Tampak dari situ bahwa persoalan tari dan wayang mengambil porsi yang paling besar, disusul oleh sastra (termasuk teater) dan seni rupa. Ia pernah juga mengulas film cerita dan pagelaran musik.
Wajar kalau lebih banyak tulisan tentang tokoh atau peristiwa yang terkait dengan Solo atau Jawa Tengah, mengingat Ardus bertugas di kota kelahirannya. Selebihnya ia menjalani beberapa tahun sebagai redaktur di Jakarta, sebelum pulang kampung dan menjadi wartawan yang menetap di daerah.
Pengarang lagu Anjar Any, penyanyi Waljinah, pencipta gerak tari “Joged Amerta” Suprapto Suryadarma, adalah sebagian dari tokoh seniman yang berpengaruh, yang menjadi target laptopnya. Tentu saja juga Sardono W Kusumo dan Retno Maruti yang tetap membawa cap kota kelahiran.
Fenomena wayang yang terancam hidupnya di tengah arus perubahan zaman termasuk perkara yang menyita perhatiannya. Kadang ia menggunakan kalimat provokatif untuk menarik pembaca misalnya seperti “apakah wayang masih mempunyai masa depan?”. Dalam hal itu terkesan betapa ia menempatkan diri bukan sekedar sebagai wartawan yang prihatin, tapi juga bagian dari masyarakat pewaris wayang yang cemas. Perlu diingat bahwa ia juga anggota dewan pakar di dalam kepengurusan Senawangi, Sekretariat Nasional Wayang Indonesia.
Keprihatinan yang mendalam tentang tergerusnya budaya Jawa sudah mengganggunya sejak muda. Tahun pertama berkiprahnya Bale Soedjatmoko, 2009, diisinya dengan diskusi, seminar, dan pameran seni rupa “Wong Jowo Ilang Jawane”. Beberapa pakar sastra dan budaya berbicara di dalam kesempatan itu. Ia juga mengerahkan 37 perupa dari Solo, Yogya, Bandung, dan Jakarta, untuk mengungkapkan rekaan visual mereka atas tema tersebut.
Cukup banyak contoh yang bisa disebut. Namun demikian perlu diingat bahwa tugasnya adalah meliput peristiwa di wilayahnya. Jadi ia juga lintang pukang ketika ada pesawat terbang komersial yang jatuh, atau kebakaran besar, atau peristiwa yang berdampak nasional lainnya.
Menulis soal kebudayaan bukan prioritas. Perlakuannya sama dengan penugasan lainnya. Kalau kualitas terpuji muncul dari hasil liputan dan ulasannya atas peristiwa kebudayaan, itu lebih menunjukkan passion nya yang tinggi. Minat, gairah, kecintaan, dan perhatian menyeluruh itu sungguh tidak bisa ditundukkan oleh minimnya waktu dan kurangnya energi yang sudah lebih dulu terkuras oleh tugas memburu berita yang lain.
Pada Ardus seluruh semangat dan jerih payah itu tidak berhenti sebagai tulisan di koran atau kertas kerja. Ia terus bergerak. Ia ikut menggagas, mengelola, dan mewujudkan berbagai aktivitas kebudayaan. Katakanlah, ia telah melampaui tugas utama sebagai wartawan.
Kebetulan ia bisa memanfaatkan Bale Soedjatmoko (yang kemudian menjadi Bentara Budaya Solo) sehingga aktivisme itu mempunyai saluran dan terwujud komplit dari hulu sampai hilir. Sebutlah misalnya acara “Klenengan Selasa Legen”, yang berlangsung setiap hari Selasa Legi. Kegiatan yang semula dicibir sebagai hanya “klangenan” ini menggairahkan kembali kegembiraan untuk berlatih gamelan Jawa di berbagai pelosok Surakarta. Harga diri para seniman tradisi itu dipulihkan dengan memberi tempat terhormat berpentas di venuenya, di jalan protokol kota Solo.
Jangkauannya lebih luas daripada “sekedar” kesenian sebagai ekspresi artistik. Bersama beberapa teman ia menginisiasi jaringan kerja yang kemudian diberi nama Solo Heritage Society. Itu sebuah forum rekonsiliasi atas konflik dan kerusuhan di Solo akibat reformasi 1998. Ia menggerakkan berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang untuk ikut merawat warisan nilai yang dimiliki bersama.
Saya ingin mengakhiri catatan ini dengan mengatakan bahwa Ardus sungguh menikmati kerja-kerja lapangan yang memungkinkan ia bertemu dengan kalangan seniman dan berbagai problematiknyaa. Itu cocok dengan tugas lainnya sebagai kurator dan pengelola Bentara Budaya. Perlu juga ditambahkan bahwa sesungguhnya ia adalah aktor terlatih dan piawai menggambar – kemampuan yang sayang sekali tidak dirawatnya.
Selamat membaca.
Jakarta, 20 Maret 2022
Efix Mulyadi
adalah wartawan Kompas (1978-2009)
dan kurator Bentara Budaya (2000-sekarang)