IPONG PURNAMA SIDHI (1955-2021)
IPONG Purnama Sidhi sudah tidak ada lagi di antara kita. Kalangan seni rupa kita mengenangnya sebagai pelukis, pegrafis, perancang buku, ilustrator yang sangat produktif, dan kemudian kurator pada Bentara Budaya Jakarta. Ipong menangani semua bidang pekerjaan itu dengan tanpa memisah-misahkan mana yang lebih dianggapnya unggul, berharga, bergengsi, menaikkan pangkat atau derajat.
Dulu ia memang pernah belajar di Jurusan Seni Lukis di ASRI, Yogyakarta selama beberapa tahun, setelah sebelumnya konon sempat sebentar mampir di Jurusan Reklame (kini menjadi Desain Komunikasi Visual). Tapi pasti bukan karena pernah belajar bikin ‘reklame’, ia kemudian menekuni bidang perbukuan dan menjadi perancang buku masyhur pada masanya. Lukisan, grafis, desain, tipografi, sketsa, ilustrasi rasanya bagi Ipong semua itu adalah gambar. Sebagai kurator Bentara Budaya ia juga mengurusi gambar, mulai gambar-gambar karya Citrowaluyo sampai Sudjojono. Betapa tampak antusiasnya Ipong saat menjuri “gambar-gambar” karya grafis pada acara-acara Trienal Seni Grafis Indonesia—sejak 2003—yang dirintis oleh Bentara Budaya Jakarta, sejak karya yang sekadar meniru-niru cukilan kayunya Käthe Kollwitz sampai karya grafis Syahrizal Pahlevi yang nakal. Sesudah wafat orang toh menjadi gambar juga: jenasahnya dipotret, berita duka dan foto terakhirnya beredar luas di dunia maya, tampang terbaiknya dipajang sebentar di pemakaman, lalu disimpan dalam gawai orang-orang yang mau tetap mengenangnya.
“Ia sudah jadi “Ipong” ketika belajar di Jurusan Seni Lukis dulu,” kenang salah satu koleganya, Harris Purnama. Menurut Harris, menjelang akhir 1970-an ketika Ipong tiba-tiba berpindah dari Jurusan Reklame dan bergaul dengan mahasiswa seni lukis yang gondrong-gondrong, dengan cepat ia sudah “menjadi Ipong” dengan gaya melukisnya yang khas. Apa yang khas yang diingat Harris adalah lukisan-lukisan Ipong yang saat itu menggunakan teknik cipratan dan tetesan cat, alih-alih melabur kanvasnya dengan kuas seperti kebanyakan karya mahasiswa lain. Dari mana dia dapat gaya dan keberanian begitu? Jelaslah lukisan-lukisan Ipong yang dipajang di tembok lorong jurusan, tempat yang biasa untuk memamerkan karya para mahasiswa, adalah sesuatu yang baru. Saya pernah berdiri agak lama di depan salah satu lukisan Ipong di sana, terheran-heran menikmati kebaruan dan keberaniannya yang non-reklamis. Tukang cat yang paling sembrono pun tidak menyiprat dan meneteskan cat-catnya, kecuali sedang mencuci kuas kotor.
Memang ada pengampu di Jurusan Seni Lukis yang sudah lebih dulu mengerjakan itu, yaitu pelukis yang bernama Subroto S.M. Semua mahasiswa seni lukis tahu itu. Sangat boleh jadi itu pengaruh terdekat Ipong pada seni lukisnya sendiri. Boleh jadi juga dari hasil melihat buku—atau keduanya sekaligus—karena tampaknya Ipong punya kemampuan membaca teks berbahasa Inggris yang lebih dibanding rata-rata mahasiswa seni lukis lain yang sehari-hari berbahasa Jawa ngoko.
Tapi segera Ipong menemukan bahasa ungkap lukisannya sendiri dengan teknik non-tukang cat dan non-pelukis cat itu, dengan bentuk-bentuk figur yang dikembangkannya sendiri, lagi-lagi “khas Ipong”, yang jelas tidak ada pada buku maupun pada lukisan Subroto. Jika lukisan-lukisan Subroto, kata Harris lagi, lebih banyak menggunakan warna-warna monokrom, misalnya hitam saja, biru saja atau coklat saja, maka Ipong membebaskan dan meciprat-ciprati kanvasnya dengan warna-warna merah, kuning, biru dan hitam, muncul berbarengan di atas kanvas. Saat itu boleh jadi Ipong bahkan tidak menggunakan bahan cat enamel yang diencerkan dengan medium minyak, tetapi bahkan dengan cat tembok yang cukup diencerkan dengan air. Yang disebut belakang pasti lebih lebih murah, dan lagi-lagi medium cat tembok tidak akan tertemukan di buku seni rupa modern manapun maupun stok cat di gudang jurusan seni lukis.
Tidak hanya Harris yang mengenang “kejadian” Ipong sebagai “pelukis Ipong”. Hari Budiono yang kelak selama lebih setengah umurnya bersama-sama Ipong bekerja sebagai kurator Bentara Budaya—pernah belajar di Jurusan Seni Lukis—juga mengamati pengaruh teknik melukis Subroto pada lukisan-lukisan Ipong. “Lukisan-lukisan Subroto lebih terasa menggunakan perhitungan, tapi Ipong jelas lebih ekspresif. Warna-warna lukisannya dengan merah, biru, kuning, putih, diikat dengan warna hitam. Dan dia, sejak itu tidak pernah beranjak lagi dari situ,” ujar Hari. Hari agaknya benar. Coba lihat karya-karya Ipong paling mutakhir yang dikerjakannya sampai 2021, masih ada “warna hitam yang mengikat” semua bentuk dan masih juga dia mengucurkan atau menetes-neteskan cat, melingkar-lingkar, bolak-balik pada bagian-bagian tertentu lukisan atau pinggir-pinggir bentuknya. Pada awalnya, bahkan menurut Hari Budiono, lukisan-lukisan Ipong dikerjakan dengan tinta cetak sebelum beralih dengan medium berbasis air, yakni cat tembok merek Santex. “Itu adalah jenis cat tembok yang terbaik pada masa itu,” tambah Hari. Mahal atau murah rupanya tidak tergantung jenis, tapi merek.
Saat itu, tentu Ipong belum dikenal sebagai perancang buku. Tapi kata Harris dia sudah kenal dan bergaul dengan para wartawan di Jogja, dari media massa nasional maupun daerah. Sesungguhnya Ipong juga menulis. Itu yang tidak banyak orang ketahui tentang Ipong. Bukan karena dekat dengan para wartawan maka Ipong tertarik menulis, tapi karena ia memang bisa menulis maka ia terbiasa bergaul dengan kalangan juru warta itu. Salah satu tulisan Ipong di masa itu muncul di majalah Pusara (Oktober 1979) tentang pameran grup “Kepribadian Apa” (Pipa) di Yogyakarta pada 1979. Ipong menyambut jenis keradikalan seniman-seniman muda, para koleganya di ASRI yang mencari “identitas” seni rupa melalui jalan-jalan yang justru non-identitas atau bahkan “anti identitas”.
Begini antara lain dia menulis, terbukti dia membaca teks sumber: “Di Barat seni ini disebut “happening”, yakni istilah yang untuk pertama kali dipakai oleh Allan Kaprow, tahun 1956. Kaprow selanjutnya diikuti sederetan nama tokoh-tokoh happening lain: C.Oldenburg, Robert Whitman, Red Grooms, dan Jim Dine untuk menyebut yang paling jempolan. Pengertian happening adalah suatu bentuk kerjasama antara anasir teater dengan unsur-unsur seni lainnya yang relatif menghilangkan situasi pertunjukannya. Menghilangkan jarak antara seni dan kehidupan.”
“Sikap Ipong terhadap kelompok Pipa wajar saja, tidak pernah sinis. Dia juga tidak menentang atau menerima…”, ujar Harris lagi. Ipong yakin dengan “kejadian” seni-nya sendiri.
Dengan kata lain lagi, perkembangan “kejadian” lukisan-lukisan Ipong dengan teknik cipratan atau tetesan berlanjut terus setelah ia bermukim di Jakarta. Suatu ketika, dia mulai memiliki kesempatan lebih besar untuk melukis setelah ia tidak lagi bekerja sebagai perancang buku dan menghabiskan banyak waktunya di kantor Kompas-Gramedia. Boleh juga dibilang, sebagai pelukis “yang sudah jadi Ipong” dia memang tidak berkembang lagi. Akan tetapi, ini dia, “Dia mulai memasukkan teks-teks ke dalam lukisannya. Semacam narasi atau puisi-puisi sederhana yang dituliskan begitu saja, dan menjadi bagian dari komposisi visual karyanya….Pasti ini pengaruh dari kebiasaan mengerjakan ilustrasi untuk cerita-cerita pendek Kompas,” Hari menambahkan lagi.
Memang, ada masa yang cukup lama ketika Ipong menjadi ilustrator langganan untuk cerita-cerita pendek di Kompas yang terbit pada hari Minggu. Di masa itu, bahkan orang kerapkali bisa membanding-bandingkan antara ilustrasi karya G.M. Sudarta, seniornya dengan karya-karya Ipong sendiri. Apakah setelah dipengaruhi Subroto kali ini dia mau mengikuti jalur Sudarta? Ilustrasi G.M. Sudarta untuk cerpen-cerpen Kompas muncul dengan teknis grafis atau ketampakan cukilan kayu yang khas. Sangat artistik, tajam, mengena dengan isi cerpen, pokoknya terasa memberi bobot tersendiri, tidak saja pada cerpennya, tapi pada sekujur halaman itu. Gaya ilustrasi seperti itu agaknya disukai banyak orang, dan pasti termasuk Ipong. “Bahkan pada suatu waktu tertentu, tak bisa dibedakan mana karya ilustrasi G.M. Sudarta dan mana karya Ipong,” tambah Hari Budiono. Justru pada karya-karya ilustrasi begitulah tampak bahwa Ipong tidak semenetap atau semandeg seperti pada kebanyakan lukisan-lukisannya. Dia menggunakan macam-macam teknik gambar, dengan garis-garis tajam, rada semrawut, coreng-moreng dan bebas, atau dengan teknik ala cukilan kayu dengan menggunakan spidol, kuas, dan penghapus tipp-ex untuk menghapus atau menipiskan bagian-bagian warna hitamnya, layaknya mencukil di atas papan. Hari Budiono mencatat lagi, ketika rubrik seni di Kompas mulai menampilkan ilustrasi cerita pendek berwarna, saat itulah Ipong mulai menekuni lagi lukisan-lukisannya. Saat itu tentunya Ipong sudah bekerja lebih mantap sebagai kurator Bentara Budaya di Jakarta, sesudah lepas dari pekerjaan sebagai perancang buku di grup Gramedia. Semua orang yang datang ke pameran di Bentara mengenalinya sebagai “mas Ipong, kurator Bentara”. Lukisan dan pameran-pameran Ipong mestinya terbawa oleh semangat dan suasana kerja ini, dan pergaulan dan pertemuan yang lebih banyak dengan para seniman. Dia rasanya menemukan lagi dunia gambarnya.
Bagi Ipong, agaknya atau akhirnya memang medium gambar dwimatra itulah yang paling dekat dengan dirinya, dan karena itu boleh jadi dianggapnya akan abadi. Di atas bidang datar dia melukis, mencoret (di atas apa saja), merancang, membuat sketsa, menggrafis dan menulis atau mempublikasikan teks-teksnya. Katanya, dia menemukan kontemplasi di atas bidang dwimatra karya seniman lainnya. Pada sebuah lukisan tahun 2021 yang saya senangi—bukan karena teksnya—tapi cara Ipong meniru, ia menulis begini: “I found comfort to contemplating the sunflower – homage to van Gogh”. Ia dengan tanpa ragu meniru lukisan kembang matahari yang masyhur, dengan cara gambarnya sendiri yang kaku, sederhana, dengan gatas (garis-garis batas) tegas dan pasti seakan sudah beratus kali melihat lukisan kembang itu.
Ipong berkembang dengan caranya sendiri yang kaku, untuk tidak mengatakan keras kepala. Misalnya saja, kalau mau lebih mendekati karya-karyanya, coba telusuri cara menorehkan garis-garisnya yang tegar dan tandas itu.. Ia sadar sifat plastis alat atau mediumnya, bahwa ujung pisau cukil tidak pernah akan seluwes bulu-bulu kuas yang dicelup cat untuk disapukan, beda pula dengan teknik tetesan cat enamel. Pada lukisan Ipong tak jarang ia membuat kontradiksi alatnya sendiri: ia ingin membuat kuasnya justru tampak tegar dan kaku, setajam pisau cukil, atau sebaliknya. Kalau dia bosan atau mau membebaskan diri dari alat-alat itu, ia membuangnya semua: menetes-neteskan atau mengucur-ngucurkan catnya sebagai alat untuk menggambar.
Lihatlah misalnya karya cukilan kayu “A Man” (tanpa tahun), sosok laki-laki sendirian yang duduk menatap kepada kita, yang tegak dan lurus seperti kursi yang didudukinya. Kalau Ipong menunda untuk terlalu memiuh dengan banyak torehan garis, justru hasilnya bisa lebih tenang dan asik karena bidang-bidang luas cocok dengan bentuk sederhana atau keinginannya untuk tampak brut atau seakan dalam situasi “belajar menggambar” lagi. Contoh karya yang begitu saya temukan pada foto-foto karya yang saya terima, misalnya “Salim Terbang”, ilustrasinya untuk cerita pendek Taufik Ikram Jamil di Kompas Minggu, 19 Juni 1994. Atau “Lurah” cerpen Kuntowijoyo, 14 Agustus 1994. Kombinasi bidang lebar hasil laburan tinta dan garis-garis lurus penanya yang tegang terasa efektif pada gambar “Upit”, cerita pendek Gus TF Sakai (tanpa tahun).
Pada sebagian karya-karya ilustrasi Ipong dengan pena dan tinta itulah saya teringat kembali wanda atau ciri-ciri figur temuan Ipong pada lukisan-lukisan lamanya, yang dipamerkan di lorong jurusan seni lukis: tampang tirus, cekung, dengan setengah bagian bawahnya adalah deretan gigi, meringkik atau menyeringai, berkumis baplang, rambut menyemak seperti palsu, hidung botol dan kaus bergaris-garis layaknya narapidana atau busana tradisional khas Madura, Sakera. Dan tentu saja, terkadang seperti potret tampang dalam lukisan atau gambar Picasso. Mungkin identitas ini tertemukan oleh Ipong di dunia susastra Indonesia entah di mana, justru sebelum ia menjadi langganan ilustrator fiksi di koran. Atau, dia mau menciptakan ceritanya sendiri melalui gambar-gambar itu.
Dan jika tampang-tampang yang khas “kejadian Ipong” ini ditumpuk-tumpuk, diulang-ulang di mana-mana semua gambarnya, tampaklah pemandangan seperti gerombolan orang dengan identitas berbeda atau kaum yang isinya semua laki-laki. Di mana gerangan semua itu hadir kalau bukan di dunia fiksi? Dengan ilustrasi-ilustrasi G.M. Sudarta dan Ipong, halaman seni Kompas di ujung pekan memberi suasana fiksi tersendiri yang tentunya bukan maksud tulisan ini untuk membicarakannya. Gambar-gambar itu pasti tidak cukup dibilang sebagai sekadar ilustrasi yang mendompleng cerita pendek, tapi tentunya justru telah mengayakan apa yang dibayang-bayangkan oleh penulis fiksinya sendiri.
Pokoknya, bahasa visual gambar-gambar Ipong menerabas bentuk dalam arti membikin pemiuhan tanpa melewati latihan atau percobaan untuk mengusai lekuk-liku anatomi tubuh manusia yang memang rumit, asik dan kaya. Pemiuhan agaknnya bagi Ipong adalah dari bentuk sederhana ke arah bentuk sederhana lagi dengan cara membuang semua elemen kematangan plastisnya. Dia tidak pernah merasa perlu bersabar dan bertekun untuk itu. Karena itu tak jarang kita menemukan bentuk-bentuk sederhana yang lebih mirip kartun ketimbang kecanggihan karikatur dalam banyak karya Ipong, dari badut sampai Bagong, Men Brayut atau yang dibayangkan sebagai “tampang”-nya sendiri. Ia mengurangi dan membuang, menyingkirkan, dan kadang terasa mau membersihkan sesuatu. Ia membuat semua tampak seperti datar, dwimatra. Bukan bagaimana menjadi lebih sederhana, tapi sudah dari sananya memang hanya perlu kerangka saja.
“Dia pekerja samak buku,” kata Hari Wahyu, perancang buku yang mengamati kiprah Ipong di dunia rancangan buku sejak lama. “Saya kagum dengan pembaruan samak-samak buku yang pernah dikerjakan oleh Ipong,” tambah Hari Wahyu lagi. “Samak” adalah bahasa Jawa yang artinya sampul. Dengan kata lain, untuk sampul-sampul buku yang dikerjakannya, Ipong memang tidak menampilkan tafsir isi buku, tapi secara artistik dia merancang “samak” buku tadi. Dengan apa, kalau bukan “Ipong yang sudah jadi” tadi? Ketekunan merancang samak buku yang lebih mandiri itulah yang mewarnai jagat perbukuan pada masa 1980-1990-an yang lahir dari tangan Ipong Purnama Sidhi.
Ipong Purnama Sidhi pergi justru setelah di minggu-minggu terakhir dalam hidupnya dia menghubungi beberapa rekannya, antara lain perancang buku Herman Widianto untuk mengumpulkan karya-karya ilustrasi yang begitu banyak jumlahnya. Barangkali ia membayangkan karya-karya ilustrasinya akan menjadi isi buku, dan kali ini biarlah orang lain yang membikin samak-nya. Dan ratusan lukisan serta gambar karya Ipong, bukankah itu kita anggap sudah abadi saja dalam ke-dwimatraan-nya sendiri?
Selamat jalan, Ipong Purnama Sidhi…
Hendro Wiyanto
Jakarta, 16 Februari 2022
(Bahan-bahan untuk tulisan ini antara lain dikumpulkan dari obrolan dengan Harris Purnama, Hari Budiono dan Hari Wahyu pada 28 Januari 2022).