Dalam sebuah sesi perbincangan hangat untuk program feature budaya "Aerli Rasinah, Sang Pucuk Penerus", yang tayang di kanal youtube Bentara Budaya, Aerli Rasinah (36) berbagi pengalaman dan suka dukanya sebagai penari topeng dari Indramayu.
Topeng, bagi Aerli Rasinah bukan semata benda kerajinan, aksesori, atau penutup wajah yang dikenakan seorang penari, melainkan sesuatu yang telah menyatu dalam dirinya sebagai energi cipta dan panggilan hidup berkesenian. Sedini belia, ia telah ditempa dengan berbagai latihan menari, menghayati ritual serta tirakat. Fase penting dalam transformasi hidupnya dimulai ketika ia berusia lima tahun. Sang nenek, Mimi Rasinah—tidak lain seorang maestro tari topeng—diam-diam telah menyiapkan Aerli sebagai penerus atau pewaris tari topeng Indramayu gaya Pakandangan.
“Mimi Rasinah sudah mempersiapkan saya dari umur 5 tahun. Ada syarat-syarat yang harus dilakukan, ada ritual-ritual tertentu, termasuk aturan-aturan dan alur yang harus kita ikuti, semisal puasa, tirakat. Tidak sebatas bagaimana kita melemaskan tubuh, tetapi juga menyucikan diri. Karena menurut masyarakat, penari diyakini sebagai pembawa berkah, ” tutur Aerli pada sesi wawancara daring (16/08).
Berlatih menari bagi Aerli kecil merupakan semacam terapi. Sewaktu kecil ia sempat menderita luka bakar yang parah sehingga harus dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Jangankan untuk menari, menggerakkan jari-jarinya saja sulit, sebagian besar anggota tubuhnya yang melepuh, meninggalkan bekas luka yang mengerikan. Berkat kesabaran dan kasih sayang dari Mimi Rasinah, Aerli perlahan menemukan kembali kepercayaan dirinya.
“Saya masih ingat betul, bagaimana Mimi dengan sabar mendampingi saya selama dirawat di rumah sakit. Di sisi saya, beliau selalu menembang atau mengisahkan dongeng-dongeng pengantar tidur,” kenang Aerli.
Ketika belajar menari pertama kali, Aerli tidak langsung mengenal tari topeng. Mimi Rasinah justru mengajarinya tari-tari kreasi. Kembali mengenang, Aerli merasa hal tersebut boleh jadi karena selama 20 tahun Mimi sempat vakum sebagai penari topeng Indramayu dan lebih aktif bersama kelompok sandiwara yang dipimpin suaminya, Amat.
Menurut etnomusikolog Endo Suanda, vakumnya Mimi Rasinah karena pada masa tarling dan sandiwara mulai populer, tari topeng mulai meredup. Bahkan keluarga Rasinah menjual seluruh perangkat tari topeng untuk beralih mencari penghidupan dari kesenian sandiwara yang banyak diminati di tahun 1970. Semenjak itu Mimi Rasinah tidak lagi menari. Ia dan suaminya—juga dalang wayang kulit—membuat grup sandiwara bernama “Harum Jaya.”
Baru pada awal tahun 1990-an, Endo Suanda dan rekannya di STSI Bandung menemukan sang maestro dan perlahan kesenian ini menemukan kembali panggungnya dan mulai dikenal luas oleh publik. Mimi Rasinah kembali tampil, menarikan berbagai ragam topeng panji dan kelana.
Rasinah atau Mimi Rasinah—wafat 7 Agustus 2010—adalah maestro pelestari tari topeng dari Indramayu. Sebagai generasi ke sembilan penari topeng di keluarganya, Mimi belajar dasar-dasar tari topeng dari ayahnya. Kehadiran Mimi Rasinah sebagai empu tari melahirkan generasi-generasi baru penari topeng termasuk cucunya, Aerli Rasinah kelahiran 1985, yang hingga saat ini mempersembahkan tari topeng sebagai ekspresi kesenian maupun laku sosial budaya masyarakat setempat.
Alih generasi
Sebagai generasi ke sebelas sekaligus penerus Mimi Rasinah, Aerli menyadari bahwa kini ia mengemban tanggungjawab yang besar, dan itu membutuhkan intensitas untuk terus belajar. “Pada tahun 2006, saat pewarisan, saya sempat merasa canggung dan beban. Saya punya saudara, punya adik dan kakak, tapi mengapa tanggungjawab ini diberikan kepada saya. Namun, ternyata apa yang telah saya lalui sejak umur 5 tahun, semua proses yang saya alami, termasuk fase ketika saya memberontak, kini menjadi bekal dan kekuatan saya. Mimi Rasinah memang telah menyiapkan saya untuk hal itu. ”
Untuk melanjutkan sekaligus melestarikan tari topeng Indramayu, khususnya warisan Mimi Rasinah, Aerli—yang sempat mendalami seni di ISBI Bandung—memberikan pelatihan kepada anak-anak muda di sanggar tari topeng Mimi Rasinah di Indramayu dengan pengelolaan yang lebih tertata. Ia berharap, tari topeng ini akan terus bertumbuh, beregenerasi serta berkembang.
Ketika pertama kali mempelajari tari topeng, Aerli justru bingung, tidak tahu topeng itu harus diapakan dan bagaimana cara topeng tersebut bisa menempel dengan sedemikian rupa di wajah ketika ditarikan. Mimi Rasinah hanya tersenyum dan mengatakan bahwa Aerli harus menemukan jawabannya sendiri.
“Dulu saya belajar menari tidak seperti sekarang yang memakai audio. Mimi Rasinah mengajarkan menari dengan ketukan mulut, tangan, atau kayu. Jadi belajarnya tidak langsung dengan gamelan atau seperti anak sekarang yang memakai musik (MP3). Jadi ketika menari, bukan saya yang mengikuti penggendang, tapi penggendangnya yang harus mengikuti penari.”
Ia juga menuturkan, karena lokasi Indramayu yang ada di pesisir, gerakan tarinya naik turun seperti ombak. Hal itu mewakili karakteristik masyarakat pantai yang dinamis, dan amat lentur.
Aerli pun berupaya menata manajemen sanggar dan berinovasi menghadirkan tari topeng ke ruang-ruang digital. “Awalnya manajemen kita adalah keluarga semua. Pemusik pun dari keluarga semua. Kita semua saling mendukung makanya bisa bertahan hingga hari ini. Dan karena sekarang kita sudah ke digital ada yang namanya manajemen digital. Ini dilakukan agar kita bisa bertahan, apalagi di era pandemi ini. Sekarang kita sudah melibatkan lebih banyak tim dan terutama anak-anak muda, “ tuturnya.
Selain fokus pada manajemen pertunjukan, Aerli dan sanggar tari Mimi Rasinah juga berupaya melakukan digitalisasi tari tradisi dengan memanfaatkan teknologi video, namun tetap tanpa menghilangkan pakem-pakemnya. “Karena kita juga harus mengikuti perkembangan zaman, agar kesenian tari topeng tidak hilang. Kita harus mendokumentasikan dan memperkenalkan lewat dunia maya seperti Zoom, Youtube, Facebook, atau Instagram, ” pungkas Aerli.