Suprapto Suryodarmo pulang ke Solo setelah terjadi peristiwa politik 1965 di Jakarta, dirinya yang waktu itu kuliah di Fakultas Teknik UI memilih untuk kembali ke Solo. Di kota kelahirannya ini Suprapto memilih untuk bergelut dengan dunia kesenian. Langkah kaki pertama Suprapto ke Sasono Mulyo yang setelah tahun 1969 digunakan sebagai pusat kesenian di Solo dengan Gendon Humardani sebagai mentor utama. Di Sasono Mulyo terdapat dua lembaga kesenian, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) dan Proyek Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT).
Suprapto kemudian memilih untuk membantu Gendon Humardani sebagai sekretaris PKJT di Sasono Mulyo. Bersama Gendon Humardani pula Suprapto berlatih menari, pada awal mula Suprapto memilih menari seperti layaknya penari – penari ASKI lainya. Namun dalam perjalanannya Suprapto mencoba untuk mencari bentuk lain dari kepenarian yang sedang populer saat itu. Proses pencarian itu begitu lama, proses yang tidak mudah dilalui, Gendon Humardani yang selama ini menjadi mentor berkesenian dirinya belum bisa menerima proses pencarian Suprapto Suryodarmo.
Dalam proses pencarian itu Suprapto berdasar pada gerak – gerak yang ada di alam, gerak – gerak inilah yang kemudian menjadi pintu masuk Suprapto untuk mencari gerak – gerak yang nantinya akan dinamai Joget Amerta. Joget Amerta semata – mata bukanlah gerak fisik seseorang, namun respon manusia pada lingkungan yang ada di sekitarnya, respon itu dimulai dari tubuh dan kemudian menjadi sebuah gerak yang menggambarkan situasi. Maka Joget Amerta selalu mengikuti situasi lingkungan, gerakan yang dilakukan tidaklah kaku atau mengikuti pakem tertentu, tapi dibebaskan atau membebaskan diri dengan bentuk – bentuk ekspresi yang tidak seperti biasanya.
Setelah mengundurkan diri sebagai Sekretaris PKJT, Suprapto Suryodarmo lebih berkonsentrasi pada proses pencariannya yang tak pernah usai. Pada suatu kali ada tawaran untuk melakukan workshop kepenarian di Eropa, dari kegiatan ini mulailah Suprapto mengadakan workshop rutin setiap tahun di beberapa kota di Eropa dalam jangka waktu yang cukup lama. Di Eropa sepertinya Suprapto menemukan ruang gerak yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, namun dirinya tidak pernah melupakan Indonesia. Pada tahun 1980 – an Suprapto mendirikan Padepokan Lemah Putih, padepokan ini tidak seperti padepokan kesenian pada umumnya.
Padepokan Lemah Putih yang didirikan di Plesungan, Karanganyar ini memiliki areal yang sangat luas, di area itu didirikan berbagai media – media untuk proses Joget Amerta, ada pendapa yang menjadi tempat belajar, setiap bulan juga diadakan acara Macaning yang artinya membaca, membaca di sini memiliki arti membaca gerak dari pementasan yang diadakan setiap bulan. Dari Padepokan Lemah Putih pula Suprapto mencoba membumikan gerak – gerak yang diciptakannya untuk hadir dalam kegiatan – kegiatan kesenian atau kegiatan kebudayaan yang lain.
Suprapto kemudian juga lebih sering mengadakan kegiatan workshop yang dulu diadakan di Eropa berpindah ke Padepokan Lemah Putih, walau pun masih ada kegiatan workshop Amerta di berbagai kota di Eropa. Pada murid – muridnya ini Suprapto mencoba memperkenalkan mereka pada alam kelahiran Joget Amerta, dan kehidupan sosial di Solo. Para murid – murid ini sering kali dihadirkan pada kegiatan – kegiatan tertentu, tidak jarang mereka juga belajar pada beberapa seniman yang menetap di Solo dan sekitarnya
Joget Amerta kemudian muncul dalam pementasan yang melibatkan publik luas melalui tubuh Suprapto. Maka kita akan mudah menemui Suprapto dalam pementasan seperti Srawung Seni Candi atau Pasar Kumandhang, Joget Amerta dihadirkan Suprapto dengan merespon ruang kegiatan juga karakter kegiatan yang ada. Joget Amerta bisa menjadi gerak yang mencoba mengambarkan situasi tertentu, bisa menjadi gerak yang melukiskan kebebasan atau perlawanan. Ketika terjadi gerhana matahari pada tahun 2016 lalu Suprapto merespon peristiwa itu dengan gerakan membebaskan mitos gerhana yang selama ini terjadi, kehadiran gerhana disyukuri sebagai peristiwa alam layaknya peristiwa alam lainnya.
Pada pementasan Srawung Seni Candi yang dilakukan setiap tahun baru di Candi Sukuh, Suprapto mengajak serta teman – teman yang lain untuk berpentas menyambut fajar hidup yang baru dengan penuh semangat untuk bekerja. Demikian halnya ketika menyambut tahun baru Jawa setiap Malam 1 Suro, Suprapto menghadirkan gerak – gerak yang melukiskan gambaran kehidupan dan tantangan dalam tahun yang akan dilalui.
Maka ada tiga hal yang satu dengan yang lain tidak mungkin terpisahkan : Suprapto Suryodarmo, Padepokan Lemah Putih dan Joget Amerta. Apa makna dari tiga subjek ini ? Sebuah kesatuan dari proses penciptaan karya yang tidak melepaskan diri dari alam. Padepokan Lemah Putih merupakan laboratorium dari proses Suprapto Suryodarmo dalam berkarya, Joget Amerta merupakan karya penciptaan yang menurut Suprapto tidak akan pernah selesai, Joget Amerta bukan semata gerak yang sudah tuntas, tapi gerak yang selalu mengikuti gerak alam, dan kehidupan semesta yang terus berubah setiap saat.
Suprapto Suryodarmo meninggal dunia pada hari Minggu, 29 Desember 2019 di Solo dalam usia 74 tahun. Meninggalnya Suprapto Suryodarmo meninggalkan tanda tanya besar bagi kita semua, semua hal yang dilakukan Suprapto Suryodarmo dengan Padepokan Lemah Putih, dan Joget Amerta haruskah berhenti juga ? Pastilah secara retorik tidak memerlukan sebuah jawaban, tapi di Indonesia sebuah karya akan mati juga bersama dengan penciptanya, pada hal tertentu ini bisa dimaklumi, namun karya tersebut kadang kala bisa juga berkembang melebihi harapan ketika pertama kali dihadirkan. Kita semua berharap meninggalnya Suprapto Suryodarmo tidak disertai dengan karyanya, dan juga rumahnya tercinta, Padepokan Lemah Putih.