Menemukan Diri di Tengah Tekanan
Eksositem kehidupan urban zaman sekarang cenderung menggiring manusia untuk masuk dalam rutintas kerja yang serba cepat, lebih produktif, dan menjadi sukses. Mimpi sukses dikejar dengan kompetisi ketat berdasarkan target yang terukur data. Siapa pun yang kesulitan mencapai standar itu rentan kelelahan, mengalami depresi, bahkan bisa berakhir lebih tragis.
Filsuf asal Korea, Byung-Chul Han, menyebut manusia masa kini yang kelelahan itu tengah mengalami "burnout." Dalam buku "The Burnout Society" (2015), dia mengungkapkan, kondisi itu diawali dengan tuntutan kehidupan urban sekarang agar manusia berprestasi lewat proyek-proyek profesional. Secara berkala, manusia didesak untuk mengeksploitasi diri mereka agar mencapai sukses dengan standar sesuai selera publik.
Saat mencapai sukses, orang-orang lantas pamer lewat foto, video, atau teks di media sosial. Mereka berlaku narsis dengan kekayaan, harta benda, jabatan, kecantikan, kegantengan, popularitas, dan beragam bentuk pencapaian material lain. Internet citizen (netizen) mengapresiasi pencapaian itu dengan membubuhkan "like", "subscribe/follow", atau "comment".
Imajinasi sukses itu menggoda banyak orang, bahkan menjadi obsesi yang tertanam dalam alam bawah sadar. Saat target tidak terpenuhi, obsesi berubah menjadi kekhawatiran. Muncul rasa bersalah yang menekan. Tekanan demi tekanan membuat manusia menjadi cemas atau lelah secara fisik dan mental. Mereka mengalami “burnout”.
Lantas apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi jebakan kehidupan urban ini? Masih mengacu pemikiran Byung-Chul Han, kita perlu mengambil jeda sejenak dari hiruk-pikuk rutinitas sehari-hari kehidupan urban. Jeda akan membuat kita sedikit terbebas dari segala bentuk tekanan. Jika perlu, kita perlambat cara menjalani hidup sehingga kita menemukan momen untuk berkontemplasi, berpikir jernih, dan memahami apa sebenarnya yang berlagsung, apa yang kita lakukan, dan apa yang hendak kita tuju dalam hidup.
Dengan cara ini, manusia diharapkan dapat menemukan kembali dirinya yang lebih otentik. Penenemuan diri yang otentik akan mengantar manusia tumbuh kembali secara alami. Saat bersamaan, manusia dapat mempertautkan kembali hubungan antar sesama secara langsung dan lebih menyentuh. Bukan sekadar pencitraan sebagaimana di media sosial.
Perspektif ini dapat kita gunakan untuk memahami Pameran "Spiritualitas Urban: Mencari Hening dalam Gemuruh" di Bentara Budaya Art Gallery di Jakarta, 9 Desember 2025 - 30 Januari 2026. Kurasi pameran ditangani oleh Frans Sartono dan Efix Mulyadi. Pergelaran ini menampilkan lukisan modern dan lukisan kaca.
Ada sembilan seniman undangan yang menampilkan karya modern. Mereka adalah Barlin Srikaton, Diah Yulianti, Gunawan Bonaventura, Hari Budiono, Oliver Wihardja, Putu Fajar Arcana, Subandi Giyanto, Sujiwo Tejo, dan Vincensius Dwimawan. Selain, itu ada juga 21 lukisan kaca koleksi Bentara Budaya. Lukisan kaca itu dibuat oleh 11 seniman, yaitu Bahenda, Bahendi, Dalang Diah, Darmono, Hasri, Ketut Samudrawan, Kusdono Rastika, Machmudi, Rastika, Salim, dan Takmid.
Sebagian lukisan kaca terinspirasi dari kisah dari dunia pewayangan dan epos Mahabarata atau Ramayana. Karakter seperti Semar, Abimanyu, Sinta, Karno, dan Hanoman ditampilkan lengkap dengan adegan ceritanya. Beberapa lukisan kaca mengolah kisah mistis seperti Buraq, naga (dragon), atau Raja Mina. Ada juga lukisan yang mengolah kaligrafi Arab dalam kemasan lebih cair seperti menyerupai sosok binatang.
Dengan pendekatan visual cenderung dekoratif, lukisan kaca mengulik kearifan lokal dari cerita rakyat (folklor) dan keagamaan. Setiap penggalan folklor kembali memanggungkan tradisi tutur yang hidup dalam masyarakat tradisional di Nusantara. Para seniman berusaha mengingatkan kita pada hal-hal yang bersifat spiritual, adikodrati atau supranatural yang melampaui kenyataan hidup sehari-hari.
Lukisan modern dari seniman undangan menyajikan tafsir lebih bebas tentang spiritualitas. Mereka menyoroti hal-hal sublim di balik mobilitas manusia kota. Ada cerita tentang orang-orang yang selalu bergegas, kisah mobil mewah, hubungan keluarga, atau pentas teater. Ada juga upaya menghadirkan kembali kekayaan mistis dari masa lalu yang masih kerap jadi rujukan manusia kota masa kini, seperti pentas Barongsai, sosok Sang Buddha, dongeng Buto Ijo, atau kisah pewayangan.
Spiritualitas menjadi kata kunci yang menghubungkan antara lukisan modern seniman masa kini dan lukisan kaca dari zaman sebelumnya. Spritualitas di sini dapat dimaknai sebagai kesadaran akan sesuatu yang lebih besar dari manusia, entah bersumber dari kepercayaan, keyakinan, Semesta, atau Tuhan. Nilai-nilai spiritual itu dianggap lebih berdaya dari manusia sehingga menjadi rujukan atau tumpuan ketika manusia merasa kesulitan mengatasi masalah dalam kehidupan.
Salah satu masalah yang kini kini menjadi tantangan adalah kehidupan urban yang menjerumuskan manusia dalam kondisi "burn out" atau kelelahan sebagaimana dipaparkan filsuf asal Korea, Byung-Chul Han. Saat dilanda depresi, cemas, dan tertekan, maka manusia perlu memulihkan diri dengan menggali kesadaran spiritual. Kita renungkan kembali, apa sejatinya "sangkan paraning dumadi" (dari mana kita berasal, apa yang kita perbuat, dan ke mana kita menuju).
Terima kasih untuk para seniman yang berpartisipasi dalam pergelaran. Apresiasi untuk kurator, Frans Sartono dan Efix Mulyadi, serta tim Bentara Budaya yang mempersiapkan program ini. Penghargaan untuk Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, yang membuka pameran.
Palmerah, 5 Desember 2025
lham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management,Corporate Communication Kompas Gramedia