WAJAH KITA DALAM RUPA
Oleh Efix Mulyadi dan Frans Sartono
Kurator Bentara Budaya
Wajah kita dalam pameran ini adalah sosok sebuah negeri bernama Indonesia. Sang Wajah terbentuk oleh beragam kekayaan budaya yang tumbuh di berbagai pelosok Nusantara.
Serpihan-serpihan budaya yang ikut membentuk wjah Indonesia tersebut dilukis oleh seniman dari masa ke masa, dengan beragam bahasa ungkap. Dalam pameran Wajah Kita Dalam Rupa ini, ditampilkan sebanyak 36 karya seniman koleksi Bentara Budaya,.
Pameran Wajah Kita dalam Rupa digelar untuk merayakan 80 tahun Republik Indonesia.
Pada judul sengaja dipilih diksi “kita” yang dalam bahasa Indonesia merupakan kata ganti
orang pertama jamak. Segenap warga negara, para seniman, kami, anda, kita, adalah pemilik negeri yang tersusun dari serpihan-serpihan budaya dengan berbagai jenis dan ujudnya.
Maka adalah sah jika pelukis Oegeng Heru Supono melukis upacara ngaben dalam karya
berjudul “Upacara Ritual di Bali”. Seniman kelahiran Surabaya tahun 1937 ini, terasa begitu cakap dalam mengolah garis. Warna-warna yang ia sabetkan keselebar penjuru kanvasnya, terutama pada warna-warna coklat tua, merah, biru, kuning, dan hijau, berhasil menghadirkan suasana. Suatu pemandangan dalam upacara ngaben di Bali yang massal terasa demikian mistis dan mencekam. Suasana upacara ritual yang sunggguh surrealistik.
Sama sah pula ketika seniman asal Solo, S Dullah (1919-1996) melukiskan upacara yag sama dalam karya “Ngaben di Bali” dengan akrilik di atas kanvas. Atau ketika But
Muchtar seniman kelahiran Bandung 1930 membuat karya berjudul “Odalan” sebuah
upacara adat Bali. Karya ini menarik justru karena gaya ungkapnya yang cenderung kubistik, dengan memecah-mecah dan membagi bidang dalam fragmen-fragmen kecil yang saling
terkait sehingga memunculkan suasana yang berbeda dari umumnya lukisan tentang tradisi di Bali. Dalam hal ini, Nasirun dengan lukisan “Barong” nya memberi cara pandang yang lain lagi untuk menikmati warisan budaya yang sangat kaya ini.
Tentu bukan hanya Bali. Asnida Hassan melukiskan prosesi ritual arak-arakan dalam upacara “Tabut” di Bengkulu. Prosesi serupa bisa kita dapati di wilayah kultural lain seperti Pariaman di Sumatra Barat yang menyebutnya sebagai upacara “Tabuik”. Kita lihat daerah yang berdekatan pun punya ekspresi budaya yang beragam. Kemudian Basuki Resobowo
dalam “Cap Gomeh” (1990) mengggambarkan suasana pesta rakyat. Tampak di sana
kemeriahan dan suka cita warga dalam menyambut hari raya yang diadakan 15 hari setelah Tahun Baru Imlek. Ia melukiskan kemeriahan suasana tersebut dalam garis-garis spontan dan warna-warna primer yang dinamis. Ia mengungkapkannya dengan tampilan naga yang diarak serta kostum yang dikenakan merefleksikan karnaval yang meriah. Sebagai seorang eksil yang hidup jauh di negeri orang kemampuan untuk menggambarkan ini sungguh mengharukan.
Kehidupan sehari-hari
Kehidupan warga sehari-hari di berbagai daerah tak luput dari perhatian seniman. Ketika mengabadikan kehidupan masyarakat, para seniman menyertakan lanskap budaya yang menjadi panggung hidup rakyat di masing-masing wilayah kultural. Koentjoroningrat,
antropolog yang gemar melukis itu, secara detil melukiskan kehidupan anak-anak suku Sasak di Lombok dalam “Anak-anak Sasak” (1990). Anak-anak bertelanjang dada bermain dengan latar belakang rumah adat Sasak yang disebut Bale Sasaq tampak dalam lukisan
tersebut Bale Tani atau tempat tinggal warga, dan Lumbung tempat menyimpan hasil panen.
Sesungguhnya karya-karya Koentjaraningrat merupakan wujud ekspresi pengalaman batinnya bertemu dengan kehidupan nyata yang dia kenali dan akrabi. Terbantu oleh
kemampuannya dalam mengolah setiap obyek lukisannya secara realis, lukisan seperti “Anak-anak Sasak” ini tampak ekspresif dan berjiwa.
Satu lagi lukisan tentang kehidupan sehari-hari adalah karya Batara Lubis yang
berjudul “GerobakYogyakarta” (1974). Gerobak yang ditarik oleh sapi merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Jawa, termasuk Yogyakarta dan sekitarnya. Ia
menjadi alat angkut hasil bumi atau kebutuhan lain. Di sekitar gerobak itu tampak perempuan penjual sayur mayur serta sejumlah pembeli. Yang menarik dari gerobak sapi adalah tebeng atau penutup yang terpasang di kiri-kanan gerobak. Tebeng terbuat dari anyaman bambu yang diberi hiasan dekoratif warna-warni. Kekhasan gerobak tersebut tidak lepas dari mata jeli
Batara Lubis.
Tarian
Yang juga menjadi bagian dari wajah Indonesia adalah tarian. Pada pameran ini
ditamplkan 3 karya yang bersangkutan dengan tari. Karya-karya tersebut adalah “Suasana Tayuban” (1988) karya Treeda Mayrayanti, “Limbak Penari Kecak” (1995) dari Tedja
Suminar, dan “Bulan Purnama (Penari)” (1960) karya Suparto.
Tajub merupakan tarian rakyat yang salah satu fungsinya adalah sebagai tari
pergaulan. Perhelatan tari tayub melibatkan partisipasi audiens dan disebut tayuban. Tayub dibawakan oleh penari perempuan, dan terbuka bagi kaum pria untuk menjadi semacam
pasangan tari. Treeda menggambarkan erotisme gerak penari tayub perempuan yang menonjolkan gerakan pinggul dengan segala efeknya. Tampak pula di sana sejumlah pengunjung pria dan wanita.
Di dalam kehidupan sehari-hari itu terselip juga cara warga menikmati kesenangan yang lain.
Salah satunya adalah sabung ayam yang di Bali disebut Tajen. Dalam pameran ini
ditampilkan dua lukisan terkait hobi tersebut “Tajen” (1971) karya Ketut Nama, serta “Laki- laki Bali dan Ayam Jago” (1958) karya Agus Djaja.
Ada pula budaya lisan berupa dongeng dan mitologi yang hidup di masyarakat. Sangat
banyak yang kemudian mewujud sebagai tema karya rupa dan ditampilkan dalam pameran
ini. Sebut beberapa di antara nya seperti “Kamaratih” (1973) karya Soedibio dan “Ande-ande Lumut” karya Maryono, serta “Anoman Duta” ciptaan Gusti Made Deblog. Selain hidup
sebagai budaya lisan, berbagai cerita tersebut juga beralih wahana di dalam tembang (lagu) dan teater tradisional seperti wayang dan ketoprak.
Batik dan lukisan kaca
Pameran ini juga menampilkan berbagai lukisan yang menggambarkan hasil kebudayaan
yang lain, yang ikut membangun sosok atau wajah Indonesia. Kekayaan Indonesia juga bisa dilihat di dalam cara kita memanfaatkan teknik batik yang umumnya dipakai untuk busana menjadi karya-karya sebagai ekspresi pribadi dalam lukisan. Bambang Oetoro misalnya,
yang dikenal sebagai “tokoh batik” mewarisi kita dengan sejumlah karya lukis yang
dikerjakan dengan media batik seperti “Kuda Lumping” (1971). Seniman serba bisa Bagong Kussudiardjo memberi kita contoh bagus dengan karya batiknya “Figur Wayang Menari”
(1971). Abbas Alibasyah menyajikan karya batiknya berjudul “ Tiga Rupa” (1977).
Seni lukis kaca merupakan salah satu jenis seni rupa yang masih terus berkembang di tengah kemajuan zaman. Dengan teknik yang khas yang tidak mudah dipelajari, para seniman
mengeksplorasi berbagai tema , namum yang kita hadirkan di sini yang berkait erat dengan alam tradisi. Di sini tampil di antaranya karya seorang pelukis kaca Cirebonan, Rastika, “Pendawa dan Punakawan: (1986). Masih ada sejumlah karya yang dikerjakan di tas
permukaan kaca yang lain.
Masih banyak yang bisa kita nikmati dalam pameran ini antara lain lukisan tentang
topeng atau kedok, boneka wayang kulit, alat musik. Setiap keping, bentuk dan jenis hasil olah budaya tersebut mengajak kita untuk menatap sehuah bangsa: Indonesia.
Selamat menikmati.