Menjelajah Dunia Warna dan Rupa
Pada awalnya pameran ini dirancang untuk menampung bakat-bakat yang “terlantar” . Katakanlah, yang tidak atau sulit mendapat kesempatan untuk tampil maupun untuk bertumbuh kembang secara optimal. Mereka diyakini ada di berbagai daerah, tidak terkonsentrasi di kota-kota di Pulau Jawa atau Sumatra dan berbagai pulau besar lain, melainkan juga dibanyak wilayah termasuk di pulau-pulau terpencil.
Tentu tidak mudah menjangkau mereka sehingga dengan tangan yang terbatas hanya sebagian kecil wilayah yang sempat dihubungi. Peserta kali ini selain berasal dari Jakarta dan sekitar, Yogjakarta dan sekitar serta Makassar.
Menginjak tahap berikutnya timbul pertanyaan apakah tidak lebih baik untuk memusatkan perhatian pada bakat-bakat di dalam usia lebih dini. Artinya, mengutamakan potensi yang lebih muda : kalangan anak-anak. Demikianlah, maka pengisi pameran kali ini didominasi oleh para pelukis berusia muda dan sangat belia.
Para peserta pameran ini didorong untuk menggambarkan apapun yang mereka inginkan. Tidak ada arahan atau panduan ketat maupun tema yang mengikat yang barangkali bukan merangsang ide tetapi justru membebani. Semboyan “Aku (anak) Indonesia” sesungguhnya bukanlah batasan atau pancingan ide, melainkan sekedar tagar atau batasan akan keindonesiaan.
Pada dasarnya, apapun yang mereka hasilkan kelak tidak akan bisa lari dari identitas yang terberi ini. Dengan kata lain, mereka bebas untuk menggambar apapun. Istilah “menggambar” ini pun bisa ditafsir secara leluasa karena akan memungkinkan kerja-kerja senirupa yang tidak hanya mencoret dan memulas di atas bidang gambar tetapi juga bisa menampilkan keterampilan prakarya ala sekolah atau sekadar kerja kolase.
Maka bisa dilihat di dalam pameran ini berbagai ragam karya dengan bermacam cara ungkap berdasar ide yang paling mereka sukai maupun yang paling mereka akrabi dalam kehidupan sehari-hari. Menarik untuk disimak bahwa selain serba-serbi hidup keseharian, para monster atau karakter di dalam game atau permainan berbagai generasi muncul di sana-sini.
Banyak yang percaya bahwa tokoh-tokoh rekaan ini yang menggantikan sebagian besar karakter foklor, dongeng, atau mitologi dari generasi yang lampau. Bahkan bisa dikatakan juga menggusur sejumlah besar karakter dari masa yang masih berdekatan yang juga sudah kuyup dengan produk-produk budaya pop seperti komik, film, dan cerita televisi.
Alhasil kita akan menemukan wajah-wajah dunia imaginasi dan alam pikiran para peserta pameran yang merupakan warga Indonesia baik secara sosial mau pun secara kultural, yang boleh dianggap telah mewakili cara mereka memandang dunia sekitar. Terutama pada generasi yang lebih dini, monster atau tokoh komedi Mr Bean atau bahkan legenda sepak bola seperti Kareem Benzena sesungguhnya adalah nyata sebagai bagian dari keseharian mereka. Itu semua tidak berbeda dengan boneka, mobil-mobilan, sepatu, tas sekolah, sosok adik dan kakak, perabot di dapur ibu, dan berbagai benda di rumah. “Bagi dia, melukis adalah hiburan sambil bermain-main” kata ayah dari salah seorang peserta.
Semangat bermain-main tampak dari salah lulisan yang dibuat bersaama oleh beberapa anak. Mereka diberi kebebasan untuk menggambar sesuai apa yang mereka pikirkan pada satu kanvas. Maka di atas kanvas itu muncul tokoh film, logo-logo yang popular di media sosial. Pokoknya, apa saja yang pada waktu itu ada di benak tertuang di atas kanvas. Proses mereka menggambar tergantung dari posisi duduk mereka saat mereka menggambar saat itu. Mereka masing-masing mengeksplorasi imajinasi mereka menggunakan warna dan bentuk menjadi dunia yang penuh fantasi.
Rupanya, kata kunci bagi generasi paling muda ini memang melukis tidak jauh dari “bermain”.
Efix Mulyadi
Kurator Bentara Budaya