Mendekonstruksi Max Havelaar
Menyimak karya-karya yang dipamerkan di Bentara Budaya ini segera mengiring pada pemahaman dekonstruksi. Para seniman ini bagi saya mencoba mendekonstruksi Multatuli atau Eduard Douwes Dekker lalu mengkontektualisasikannya dengan ruang dan waktu saat ini. Dekker memang mengandung ambivalensi atau paradox dalam dirinya sehingga kita perlu mendekonstruksi dan kritis dalam membaca karyanya.
Paradoks pertama bisa dilihat dari sisi baik, yakni bahwa dia seorang Belanda tulen yang justeru membela kaum terjajah, Indonesia. Ini langkah paradoksal di masa itu, tentu saja, ketika Belanda gencar-gencarnya menggelar operasi tanam paksa (cultuurstelsel) di banyak tempat antara lai di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, Dekker justeru menentangnya sebagaimana tertuang dalam novel Max Havelaar. Novel ini ditulis menggunakan nama pena Multatuli. Sekali lagi, ini sisi positifnya. Namun, sisi paradoksal yang negatif adalah, alih-alih dia membela kaum pribumi secara utuh, wacana yang dikembangkan Dekker justeru mengafirmasi kolonialisme. Cara pandang Dekker eropa sentris atau terlalu Barat sembari melihat kaum terjajah sebagai kelas kedua, inferior.
Terkait dengan itu, pas sekali kiranya Indyra lewat karya “Multatuli The Author” menggambarkan Dekker sebagai sosok berwajah ganda, samar, dan karenanya tak mudah dikenali. Dekker berada dalam persimpangan takdir. Di satu sisi, sebagai orang Belanda dia menentang segala relasi yang tak manusiawi, terutama ketika melihat para pribumi petani dipaksa menanam kopi tanpa pembagian hasil yang adil. Di sisi lain, dia Belanda dan tumbuh dalam lingkungan kolonial yang, sadar atau tidak, terpengaruh dengan pola pikir tersebut.
Saya menduga Dekker belum sepenuhnya sadar tentang cara pandang yang cenderung kolonialis itu ketika menulis Max Havelaar (terbit pada 1860). Apalagi wacana kolonialisme secara akademik bisa disebut baru muncul seabad lebih kemudian ketika Edward Said menulis Orientalism (1978), misalnya, yang antara lain membedah lebih tajam perbedaan “Barat” dan “Timur”. Barat dipahami sebagai pihak yang penuh superior, sementara Timur adalah sebaliknya, terkucil dari wacana kekuasaan.
Kolonialisme secara fisik sudah pergi dari negeri ini, tetapi jejaknya abadi termasuk dalam ruang-ruang mentalitas kita. Momen historis yang disebut kolonialisme itu lalu melahirkan pemahaman tentang penguasaan terhadap budaya atau wilayah. Fokusnya pada upaya para spesialis untuk memanfaatkan pengetahuan tentang ketimuran. Itu terus berlangsung hingga sekarang ini, hingga masa pascakolonial ini. Fungsinya untuk menarasikan Timur sebagai kelas dua tadi. Ini juga menjangkiti ruang-ruang kesadaran orang-orang Timur juga sehingga mudah menganggukkan kepala ketika dituding sebagai kelompok inferior.
Salah satu manifestasinya, kita sebagai orang Timur, ketika melahirkan capaian tertentu, entah di bidang seni, sains, atau lainnya, cenderung menunggu afirmasi dari Barat. Ketika Barat memuji, kita ikut memuji. Begitu sebaliknya. Ini warisan kolonialisme yang susah hilang.
Syakieb Sungkar lewat karya yang begitu verbal bertajuk “The Western Supremacy” memberi gambaran secara gamblang skema penjajahan dari hulu hingga hilir. Ketika kaum terjajah sengsara, terlihat jelas siapa saja yang menikmatinya. Lukisan ini bisa ditarik lurus ke masa kini ketika negara-negara—yang secara kurang manusiawi disebut sebagai negara berkembang—menjadi “buruh” atas negara maju, jelas juga siapa yang sengsara dan siapa yang makin kaya.
Setelah kolonialisme secara fisik pergi, kapitalisme meraja lalu muncul sosialisme yang mati-matian melawannya. Kapitalisme terlalu kuat untuk dilawan dan bahkan mencangkok cara-cara sosialisme dalam melanggengkan penumpukan capital. Caranya antara lain dengan mengoperasikan agenda yang seolah-olah sosialis, seolah-olah humanis seperti mengangkat kaum miskin dan berpendidikan rendah, terutama di negara-negara berkembang di Timur untuk menjadi buruh di perusahaan nasional atau transnasional. Ujungnya tak lain hanyalah untuk menekan biaya operasional lantaran para buruh itu bersedia dibayar murah. Saking murahnya bahkan mereka susah untuk bertahan hidup. Ini analog dengan kerja rodi di zaman Belanda.
Meskipun demikian, apresiasi tetap layak ditujukan kepada Dekker. Sebab lewat Max Havelaar itu, mata dunia terbuka tentang perihnya menjadi kaum terjajah. Haris Purnomo membangun sebuah metafora keperihan itu lewat sosok bayi bertato. Bayi adalah metafora kaum terjajah yang tak berdosa tetapi harus menderita kepedihan abadi. Anda yang pernah ditato, tentu paham tingkat rasa nyeri itu terutama di bagian punggung, tengkuk, dan lengan luar. Bayangkan rasa sakit tersebut menimpa sekujur tubuh bayi seperti dalam lukisan bertajuk “Kidung Ridakpaksa” ini.
Dekker pernah sebentar menjadi Asisten Residen Lebak. Di sini dia menyaksikan ketidakadilan seperti digambarkan Haris tersebut. Dia menangkap ada hubungan yang timpang. Pada satu pihak dia melihat bupati Lebak bersama menantunya menjalankan praktik yang bertentangan dengan kebijakan kolonial, bahwa mereka telah sewenang-wenang terhadap kaum pribumi. Dia menilai Pemerintah Hindia Belanda tidak tegas terhadap perilaku kaum priyayi tersebut. Dalam situasi dualisme kepemimpinan—kaum adat yang diwakili kaum priyayi tadi, dan pemerintah kolonial—Dekker bimbang mengambil cara pandang sebagaimana tercermin dalam Max Havelaar. Di titik ini juga tercermin paradoks sebagaimana di sebut di atas arena Dekker seolah setuju dengan adanya kolonialisme, antara lain untuk mengontrol kaum priyayi yang tak adil terhadap kawula atau kaum pribumi.
Namun kebimbangan itu, tetap memunculkan sikap yang didasari atas nilai-nilai advokasi terhadap kaum tertindas. Bahwa dia berdiri bersama para kaum terjajah. Barangkali ini yang mengilhami Arie Kadarisman melukis “Sang Pembela”. Dia melihat Dekker sebagai sosok yang mencoba menegakkan kembali rakyat rakyat Lebak sebagai manusia.
Cerita kopi
Mencecap kopi adalah mengenang penjajahan. Seperti halnya kopi, kehadiran Belanda tak seluruhnya pahit. Setidaknya dia meninggalkan sedikit warisan manis yang hingga sekarang bisa kita nikmati: kopi. Adalah VOC yang semula menanam kopi di Gunung Sahari tahun 1696 lalu merebak ke Cirebon, dataran tinggi Ciamis, lalu kopi menyebar di seluruh Jawa, termasuk Lebak, Banten. Jawa menjadi produsen kopi terkenal di eropa karena lebih dari empat per lima hasil panennya dikirim ke Eropa. Tentu saja setelah kopi dibeli VOC dari rakyat dengan harga amat murah. Saking tenarnya kopi dari tanah Jawa di Eropa sampai ada istilah “A Cup of Java”.
Di balik kegemilangan Belanda itu, kaum kawula sengsara. Bahkan untuk sekedar menikmati kopi hasil panen sendiri pun dilarang sehingga harus mengeringkan daun kopi lalu menyeduhnya sebagai obat “ngidam” kopi. Cara penyeduhan daun kopi ini masih langgeng sampai sekarang yang antara lain bisa ditemukan di tanah Minang dengan nama kawa daun.
Dalam konteks itu, Trinawang menemukan fakta lain, bahwa petani yang dilarang minum kopi hanya diizinkan mengolah kopi sisa dari kotoran luwak. Itu dia gambarkan lewat lukisan “Dari Cultuur-Stelsel Ke Luwak-Kultur”. Di sini satire antara derita dan romantisme.
Dalam pameran ini, beberapa pelukis memberi kesan romantisme terhadap kopi tadi. Lukisan “Arek Tengger Panen Kopi” merupakan salah satu sisi manis dari perjalanan panjang kopi tumbuh di Nusantara. Bambang Sudarto sebagai pelukisnya mengenang orang tuanya yang dulu mempunyai kebun kopi di masa Belanda. Lukisan ini terasa manis pahit (bittersweet) karena di satu sisi mengenang masa indah bersama orangtua, di sisi lain mengingatkan praktik tanam paksa.
Pada akhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa pameran bertajuk Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism, memberi pesan dekonstruksi terhadap Multatulis sekaligus mengajak kita merenung tentang hakikat penjajahan yang tak kunjung hilang ini.
Palmerah, 3 Oktober 2023
Hilmi Faiq
Kurator BBJ