KERAMIK, PENANDA KEHIDUPAN
Keramik memiliki peran penting dalam mengungkap sejarah kehidupan di Nusantara. Dari peninggalan keramik, masyarakat masa kini dapat mempelajari peradaban di negeri ini pada masa lalu. Produk-produk dari tanah liat yang dikeringkan dan dibakar dengan beragam bentuknya itu menjadi media penyambung antara masa lalu dan masa sekarang.
Kebudayaan masa prasejarah di Nusantara dapat ditelusuri dari karya gerabah sederhana, misalnya berbentuk kendi. Kendi berasal dari bahasa Sansekerta, "kundika", yang berarti wadah air. Kendi dari tanah liat berbentuk bulat dengan lubang di dalamnya, mirip teko, untuk menyimpan air minum. Benda itu ditemukan di sejumlah situs dari masa prasejarah seperti di Buni (Jawa Barat), Liang Bua(Flores), Manggarai, Melolo (Sumba) dan Gilimanuk ("Kendi," Sumarah Adhyatman, 1987).
Bergeser ke masa sejarah, kendi juga menjadi penanda peradaban Kerajaan Sriwijaya yang memusat di Sumatera Selatan pada abad ke-7 sampai 12 Masehi. Pada 2015, tim arkeolog Balai Arkeologi Palembang, menemukan kendi biksu di kawasan rea Taman Bukit Siguntang, Palembang. Temuan ini mengkonfirmasi adanya aktifitas peribadatan agama Budha. Sebagaimana dilaporkan biksu penjelajah asal China, I-Tsing, Sriwijaya memang sempat menjadi pusat pendidikan agama Buddha di Nusantara.
Geser ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada abad ke 13 sampai 16 Masehi. Kendi juga menjadi penanda kebudayaan masa itu sebagaimana ditemukan di Situs Trowulan, Mojokerto, ibukota Majapahit. Salah satu kendi memiliki cerat menyerupai payudara sehingga disebut kendi susu (catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, 2014).
Selepas dua kerajaan besar itu, Nusantara memasuki masa colonial. Tradisi keramik berlanjut. Begitu pula saat Indonesia merdeka sampai sekarang. Keramik, gerabah, terakota, tembikar, atau berbagai olahan dan turunannya (juga dengan bermacam pengertian dan teknis pembuatannya) masih hidup di sejumlah komunitas di berbagai wilayah di Nusantara. Sebut saja, antara lain, tradisi gerabah di Bayat, Klaten, Propinsi Jawa Tengah; di Kasongan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta; di Malo, Bojonegoro, Jawa Timur; di Sitiwinangun, Jamblang, Cirebon; di Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat; di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
Sebagian tradisi itu masih mewarisi teknik pengolahan gerabah dari masa prasejarah. Sebagian telah beradaptasi dengan teknologi modern. Tanah liat masih terus diolah secara sederhana menjadi wadah-wadah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Saat bersamaan, dikembangkan juga keramik sebagai media ekspresi kesenian yang melampaui fungsi utilitas sehari-hari. Pengolahan keramik menggambarkan pergeseran kehidupan.
Di tengah pergeseran itu, hadir sejumlah seniman yang suntuk mengolah tanah liat sebagai "fine art" (seni murni). Mereka lebih fokus bereksperimen untuk melahirkan karya keramik dengan beberapa pendekatan olah material tanah liat, pengeringan, dan pembakaran yang berbeda-beda. Hasilnya juga bermacam-macam.
Salah satu komunitas itu adalah Citrus Studio yang bermarkas di Timbulharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdiri sejak 2021, komunitas ini mengutak-atik berbagai kemungkinan ekspresi keramik. Karya-karya mereka kemudian dipamerkan.
Kali ini, para seniman Citrus Studio menggelar pameran bertajuk "Black Symptoms #2: Aksi Reaksi" di Bentara Budaya Yogyakarta, 8-14 Maret 2023. Mereka menampilkan karya keramik yang mengeskpose bintik-bintik hitam ("black symptoms") hasil proses pembakaran reduksi yang tidak dapat sepenuhya terkontrol. Bagi mereka, ketidaksempurnaan itu justru memperlihatkan ketidakterdugaan yang menarik.
Selamat berpameran untuk semua seniman Citrus Studio. Terima kasih kepada semua pihak yang telah "nyengkuyung" kegiatan ini sehingga akhirnya tersaji dengan apik kepada publik.
Palmerah, 8 Maret 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corp Com, Kompas Gramedia