SENI UNGGUL TANPA PREDIKAT AUTISM
Suratkabar Kompas terbitan 8 Februari 2023 memuat sekelumit informasi yang menarik. Disebutkan di situ tentang sebuah lukisan karya seorang penyandang autism yang laku seharga 1 milyar rupiah di dalam pelelangan di Jakarta untuk mencari dana.
Tentu saja kabar semacam ini mencengangkan. Angka satu milyar rupiah hanya menjadi sekadar angan-angan bagi sebagian terbesar pelukis professional kita. Bagaimana itu bisa terjadi pada karya seseorang artis yang menyandang autism?
Dunia para penyandang autism pada umumnya memang berada di luar kesadaran masyarakat. Demikian pula dengan apa yang bisa mereka hasilkan, termasuk di dalam bidang seni. Prasangka lebih sering berperan ketika menghadapi kenyataan bahwa penyandang autism juga mampu membuat karya seni yang unggul.
Di kancah pergaulan seni antarbangsa dikenal beberapa seniman penyandang autism yang terbukti telah melahirkan karya-karya yang hebat. Sebutlah misalnya yang menonjol seperti Stephen Wiltshire. Ia menggambar pemandangan perkotaan New York City komplit sepanjang 19 kaki hanya berdasar ingatan. Ingatan itu ia peroleh ketika menumpang helicopter melintasi kota tersebut selama 20 menit.
Video di youtube produksi media Jerman, Deutsch Welle, menyebut orang muda berkulit hitam kelahiran London ini memiliki “ingatan fotografis”. Hal itu membuatnya mampu menggambar pemandangan perkotaan secara rinci dan akurat. Di dalam sebuah pameran di London Gallery karya-karyanya dihargai antara 1.700 euro sampai 200.000 euro. Kurang lebih itu setara dengan 27 juta rupiah sampai 3 milyar rupiah menurut kurs ketika tulisan ini diketik pada akhir Maret 2023.
Apa artinya ini semua? Kita bisa melihat bahwa masyarakat telah menerima kehadiran seseorang peseni yang berlatar autism. Tak jarang orang membandingkannya dengan para seniman pada umumnya. Penghargaan sebagai artis bahkan datang dari Pangeran (saat itu) Charles yang memberinya gelar sebagai anggota kerajaan Inggris Raya.
Stephen Wiltshire pernah diminta melukis pemandangan Singapura bertepatan dengan hari ulang tahun ke-50 negara kota tersebut. Sesudah itu ia mengerjakan orderan untuk menggambar Mexico City. Banyak pesanan tugas yang ia terima, namun harus menunggu di dalam daftar antrian yang konon antara 4 bulan sampai 8 bulan.
Tentu, ini gambaran sukses besar, yang tidak mudah dicapai orang lain. Namun sebagaimana hal nya di kalangan “seniman biasa” hanya muncul beberapa tokoh raksasa dari antara puluhan ribu artis, kiranya adil melihat keadaan serupa juga berlaku di kalangan penyandang autism. Semua itu merupakan perkara yang normal atau wajar belaka.
Label memang sering mengganggu ketika seseorang berhadapan dengan karya seni. Ada anggapan yang salah kaprah tentang, misalnya, bahwa hasil ciptaan penyandang autism pasti tidak keruan, tanpa kontrol artistik yang memadai. Atau sebaliknya, menganggap karya-karya mereka pasti luar biasa bagus dan kuat ekspresinya, karena langsung terhubung dengan alam bawah sadar.
Sebagaimana warga masyarakat umum, di kalangan yang khusus ini tentu ada saja yang berbakat seni (di dalam konteks kita, berseni rupa). Dari antara mereka ada yang berminat dan sempat mengembangkan bakat. Ada yang berbakat sekadarnya dan ada yang berbakat besar. Sangat kecil prosentasenya yang benar-benar istimewa, bahkan jenius. Tak lebih tak kurang, demikian pula adanya di kalangan masyarakat umum, yang tidak dibebani oleh sandangan autism.
Pameran seni rupa bertajuk “Bianglala Seribu Imajinasi” yang digelar di Bentara Budaya Jakarta tanggal 5-11 April 2023 ini dirancang dengan suatu niat khusus: memperlakukan para peseni penyandang autisma setara dengan peseni pada umumnya. Para peserta dipilih dari antara mereka yang ditengarai memang sudah lama aktif berkarya seni, dan telah mencapai semacam tataran tertentu.
Ferina Widodo, pengurus YAI (Yayasan Autisma Indonesia) yang mendampingi mereka berharap predikat “penyandang austism” tidak lagi menjadi pokok yang penting. Kalau mungkin, tidak perlu dilekatkan. Intinya, mereka adalah peseni rupa. Layak tidaknya karya mereka tampil di pameran benar-benar ditentukan oleh karya mereka sendiri.
Maka terpilih 29 peserta, yang telah melewati tahapan uji karya. Buah cipta mereka yang begitu beragam siap menyambut kehadiran pemirsa. Keragaman itu muncul di dalam pilihan tema, gaya seni, dan teknik serta medium yang dipakai. Terbanyak dari mereka menggunakan akrilik di atas kanvas, selain beberapa dengan cat minyak atau ballpoint, di samping yang menggarap patung seperti dilakukan oleh Anugrah Fadli. Yang menarik, ada yang bekerja dengan teknik batik di atas kain sepanjang 220 cm seperti dilakukan oleh Kevin Nata Hadi. Karya batik tergolong langka di dalam pergaulan seni rupa kita sekarang ini.
Banyak dari karya mereka ini mudah membawa kita ke dunia impian, alam khayal, atau dimensi fiksi dari kehidupan. Dilukiskan dengan gaya naif seperti karya Audrey Argesti, Aziza Mischa Azalia, atau Calliandra Roshetko. Gaya serupa dipakai oleh Claire Siregar dengan sekelompok hewan dari negeri dongeng yang berpose rame2 di depan kamera. Unik, lucu, dan segar.
Beberapa lukisan memilih jalan abstrak seperti dilakukan oleh Celena Aline Setioko, Indhy Mutia Rahman, Seto Y Swastiko, dan Raynaldi Hakim. Sejumlah kanvas menjadi pelampiasan hasrat menghias seperti lukisan Ramadhan Asra, Revanza, dan Ruben R. Rotty.
Soal prasangka seperti tersebut di muka mungkin yang akan membuat kejutan. Misalnya bahwa ada dua cucu maestro seni rupa Indonesia, Affandi, yang ikut berpameran. Mereka adalah Diaz dan Farda. Keduanya membubuhkan gambar matahari yang terik lengkap dengan simbol pancaran sinar, dengan cara sebagaimana kakek mereka sang maestro lakukan.
Terkejutlah juga memandangi karya-karya yang dikerjakan dengan tarikan garis dan sapuan warna yang matang, di dalam konstruksi bentuk yang mantap, dan komposisi yang penuh perhitungan. Lihat misalnya lukisan Dennis Prabawa berisi sosok perempuan dengan pakaian bermotif bunga, atau ciptaan Gregorius Andika M tentang kesibukan di pasar yang digambar secara detil. Satu lagi misalnya karya Andra Naladira yang dengan sangat rinci menggambar lingkungan perkotaan.
Kalau Anda masih menyimpan prasangka serupa, siaplah terpikat oleh lukisan Olliver Adivarman Wihardja yang cenderung dekoratif dan komposisi yang terkesan diperhitungkan secara cermat. Temanya, perempuan membawa bunga. Olli, demikian nama panggilannya, adalah yang disebut di awal tulisan ini dengan karya senilai 1 milyar rupiah di pelelangan.
Harapan agar para artis ini diperlakukan secara wajar, dengan menanggalkan status penyandang autism ketika menikmati karya mereka, akan sangat terbantu ketika Anda ikut aktif menjalani. Terimalah mereka tidak dengan “permakluman”, “sungkan”, apalagi “rasa kasihan”. Mereka sepenuhnya seniman, yang kebetulan punya latar autism.
Efix Mulyadi
Kurator Bentara Budaya