Pameran Seni Rupa Kencrung
“LAZUARDI”
Pembukaan pameran: Jumat, 21 November 2025 pukul 19.00 WIB
Pameran berlangsung: 22-30 November 2025 pukul 10.00-21.00 WIB
Tempat: Bentara Budaya Yogyakarta, Jl. Suroto No. 2 Kotabaru, Yogyakarta
Pameran Seni Rupa Kencrung “Lazuardi”
Bentara Budaya Yogyakarta | 21–30 November 2025
Dua belas tahun lalu, Bentara Budaya Yogyakarta pernah menggema lewat Pasar Kencrung (2011), sebuah pameran yang menyatukan dunia rupa dan bunyi. Saat itu, alat musik kencrung—atau ukulele cuk—menjadi medium eksplorasi para perupa lintas disiplin: pelukis, pematung, arsitek, musikus, hingga pengrajin. Kencrung-kencrung polos disulap menjadi kanvas mini penuh warna; sebagian bahkan menjelma bentuk baru dari wajan, blek, hingga radio tua. Lewat kreativitas tanpa batas itu, seni rupa menunjukkan dirinya sebagai bahasa yang lentur, mampu merangkul musik, budaya, dan permainan imajinasi rakyat.
Kini, setelah lebih dari satu dekade, semangat itu kembali dihidupkan melalui Pameran Seni Rupa Kencrung “Lazuardi”. Jika dulu kencrung dijadikan bahan eksplorasi visual, kini ia dibaca sebagai medan tafsir rasa—sebuah upaya untuk merupa keroncong, bukan sekadar menampilkannya.
Musik keroncong sendiri menempati ruang istimewa dalam sejarah musik Indonesia. Ia bukan hanya hiburan, melainkan cermin perjalanan budaya, ruang perjumpaan antartradisi, dan wadah ekspresi kehalusan rasa. Dalam salah satu syair keroncong era 1930-an, muncul kata “Lazuardi”, ditulis oleh Poniman—seniman serbabisa, aktor, sekaligus pencipta lagu yang turut membentuk lanskap seni dan budaya populer Indonesia. Di dekade 1970-an, Toto Salmon kembali mempopulerkan lagu Lazuardi, menjadikannya lebih dikenal publik pecinta keroncong.
Secara etimologis, lazuardi berarti “permata biru” (lāzaward). Namun dalam konteks musikal dan estetik keroncong, biru bukan sekadar warna—ia adalah suasana: nostalgia, lirih yang lembut, kesedihan yang hangat, sekaligus ruang harapan yang lapang.
Pameran Kencrung “Lazuardi” di Bentara Budaya Yogyakarta (21–30 November 2025) hadir untuk merayakan gagasan itu—bahwa keroncong tidak hanya didengar, tetapi juga bisa dirasakan dan dirupa-kan. Para perupa diundang untuk menembus bentuk dan meminjam ritmenya, mengolah esensi dan atmosfernya, atau menghadirkannya sebagai simbol refleksi zaman: bagaimana tradisi, memori, dan modernitas saling berdialog dalam tubuh seni hari ini.
Sebagaimana disepakati bersama, pameran ini tidak membatasi medium. Para perupa bebas menerjemahkan semangat kencrung dalam bahasa visualnya masing-masing baik melalui ukulele, kanvas, instalasi, maupun medium alternatif lainnya. Intinya adalah menyeni “rupakan” kencrung, menjadikannya jembatan antara bunyi dan rupa, antara nostalgia dan kebaruan.
Dalam konteks ini, lazuardi menjadi metafora rasa.
Biru bukan sekadar warna, melainkan ruang imajinasi: keheningan, keindahan, sekaligus kesinambungan antara masa lalu dan masa kini.
Seperti halnya keroncong, yang tak pernah usang—ia terus beresonansi dalam telinga dan kenangan generasi yang berganti, menjadi gema lembut yang selalu menemukan cara baru untuk hidup kembali.