Pameran Foto
"Reflectry - Good To See You"
Pembukaan Pameran: Senin, 5 Agustus 2024, Pukul 16.00 oleh: Dr. Oei Hing Djien (Founder OHD Museum)
Pameran Berlangsung: 6-11 Agustus 2024, Pukul 10.00 - 21.00 WIB
Tempat: Bentara Budaya Yogyakarta
Jl. Suroto no 2, Kotabaru
Kurator: Dr. Ismet ZE, S.Sn., M.Sn
Lapisan-lapisan Simulakra Ryan
Kebenaran tentunya bukanlah hal yang relevan dipertanyakan definisinya saat ini, kebenaran mutlak hanyalah angan-angan yang masih dengan susah payah harus kita raih. Sisi Etika (Ethic) bukanlah solusi yang relevan juga untuk menyatakan kebenaran ini, berabad-abad bahkan melampaui beberapa millennium, gnostika hanyalah aransemen nilai-nilai dan kombinasi dari hukum-hukum yang hanya mengatur norma dan batasan-batasan saja, sementara hakikat kebenarannya hanya datang dari hal-hal yang metafisik (Tuhan), kadangkala direduksi dan ditumpangtindihkan dengan kepentingan yang bersifat komunal, bahkan individual. Intinya perspektif ethic saat ini sangat tidak bisa diharapkan menjawab tuntutan zaman dan hasrat manusia, begitu pula wilayah Logika (logic), otak kita dengan kemampuan berpikirnya yang sangat terbatas, sulit mengungkapkan akan hakikat kebenaran, satu teori ilmiah, dengan segera dihancurkan atau diruntuhkan oleh teori baru yang muncul, satu hukum dikalahkan dengan hukum lain yang terbaru, hal ini terjadi terus-menerus seperti itu, sampai saat ini. Pendeknya, sains (dalam hal ini) sudah tidak relevan dan berwibawa lagi untuk dapat menjelaskan berbagai hal yang esensial dari suatu fenomena.
Estetika (aesthetic) rupanya memiliki peluang dan harapan besar untuk mampu menjawab pertanyaan ini semua, perspektif estetika memberi keleluasaan kita dalam berpikir dan bergerak, tanpa batas dan tanpa intervensi dari apapun, baik dari wilayah ethic maupun logic.
Filsafat dan seni, saat ini (atau mungkin dari dahulu) sangat memberi harapan bagi pemecahan semua misteri dan semua problematika di Dunia Ini, itulah mengapa filsuf dan seniman memiliki pola pikir yang unik, sehingga disinyalir akan memberikan harapan yang cerah di masa depan dengan penemuan-penemuan paradigmatiknya, meskipun seniman mengejwantahkannya dengan bentuk yang berbeda dengan filsuf, yakni lebih mengandalkan persepsi langsung, intuitif, dan berbicara dengan bahasa metaforik (daripada argument rasional), namun keduanya mampu mencerahkan pemikiran dan rasa manusia melalui karya-karyanya.
Seniman dalam berkarya, tentunya memiliki tujuan yang penting, itulah bagaimana sulitnya mengejawantahkan gagasan dan rasa estetika dalam rangka upaya merespons zamannya, merespons pengalaman empiriknya, sehingga mewujud sebuah karya seni. Fungsi dasar karya seni tentu bukanlah untuk membantu manusia dalam melakukan aktifitas fisik layaknya teknologi masinal dan digital, karya seni juga tidak memberikan dampak langsung terhadap pola pikir ataupun kinerja otak seseorang yang menikmatinya, seni tidaklah berfungsi seperti demikian.
Seorang pelukis ataupun pematung misalnya, tentu tidak memiliki pemikiran kalau karyanya berfungsi untuk menghias ruangan, halaman, ataupun dinding rumah seseorang, rasa-rasanya seni tidak serendah itu diciptakan, namun merupakan bentuk pengejawantahan gagasan dan pemikiran serius dari senimannya untuk disampaikan pada audiens, demi merespons kondisi realitas-sosial, fenomena, bahkan noumena yang terjadi di zamannya.
Seni rupa misalnya, memiliki keluhuran arti dan tentunya ketinggian maknawi, bukan pada wilayah narasi ataupun sisi visual semata, namun juga pada wilayah proses kreasi dan presentasinya juga, mereka terakumulasi secaraparipurna dan terintegrasi secara komprehensif, sulit untuk dipisah-pisahkan.
Seorang seniman yang berkarya dan karyanya hanya disimpan dan dinikmati sendiri, tentunya akan hilang dan melenceng dari kaidah berkesenian, seniman kontemporer dituntut untuk merefleksikan kondisi paling ‘anyar’ melalui karyanya, baik secara visual maupun konseptual, tujuan intinya jelas untuk menyampaikan pesan, sulit rasanya bila seniman berkarya hanya sebatas mengerjakan artefak dalam rangka olah bentuk, warna, garis, dan tekstur semata, pastinya ada sisi nilai lain yang diusung selain mengaransemen unsur-unsur rupa tersebut, itulah makanya jargon popular era modernisme: “ars gracia artis” atau “Art for Art’s Sake” masih sangat relevan sampai saat ini, tidak akan pernah mati, baik disadari ataupun tidak oleh senimannya, semangat avant-gardisme akan tetap menyala demi progresifitas. Karya seni merupakan bentuk fisik dari kecerdasan berpikir si senimannya, dan itulah bentuk avangardisme yang kongkret.
Ryan dalam pameran tunggalnya yang bertajuk: “REFLECTRY: Good to See You” yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta, mengungkapan sebuah perspektif dalam melihat realitas dalam karya-karya seninya melalui teknik digital printing. Visualisasi yang dipresentasikannya merupakan hasil rekaman melalui media fotografi. Komposisi unsur-unsur rupa yang harmonis bukan diciptakan Ryan seperti layaknya pelukis, namun ‘ditemukan’ dan ‘dipilih’ Ryan dari objek-obejk visual yang secara komprehensif dan intens ditelusurinya di lingkungan urban. Tekstur, garis, dan warna sangat kentara dan dominan pada presentasi di setiap karyanya, bukan semata untuk menunjukkan identitas sebuah objek tapi menggali potensi yang mendalam pada sisi kontemplasi dari objek tersebut. Setiap karyanya menampilkan sisi-sisi urgensi dan amplifikasi dari objek-objek sepele yang terabaikan, tekstur berkarat dari suatu benda, cat yang mengelupas karena usang, benda-benda penyok, rusak, disfungsi, dan rubbish dipentingkan dan diangkat derajatnya oleh Ryan menjadi sajian yang artistik dan memesona. Uniknya lagi, Ryan menyajikan beberapa karyanya dengan permainan jarak dari lapisan-lapisan (layers). Karya-karyanya didominasi dengan sajian multi-layer tersebut, satu visualisasi yang terasa baru dari sajian art-photography pada umumnya, yang semata menampilkan hasil rekaman visual apa adanya tanpa rekayasa tata letak. Ryan menampilkan lapisan-lapisan dengan memotong bagian-bagian bentuk unik sesuai bentuk aslinya, lalu disajikan dalam satu bingkai. Ryan seolah menampilkan lapisan-lapisan realitas dan menjukstaposisikannya, sehingga karyanya memiliki aspek dimensional yang jelas.
Ryan mencoba mengungkapkan sisi-sisi simulakra, yakni salinan realitas atau entitas yang telah hilang atau tidak memiliki dasar realitas dari fenomena yang terjadi dalam bingkai metafora. Ryan seolah mengungkapkan bahwa, kehidupan yang kita jalani merupakan lapisan-lapisan realitas, baik yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi, baik itu realitas faktual di kehidupan nyata, imajinasi di dunia khayal, ilusi di alam bawah sadar, sakralitas di alam spiritual, ataupun absurditas di alam kegelapan.
Lapisan-lapisan ‘kehidupan’ ini tidak lepas dari berbagai dinamika dan drama pada setiap episodenya, sedih, duka, bahagia, marah, dan segala bentuk emosilainnya senantiasa menyertai lapisan-lapisan tersebut dan bersinerji.
Meskipun secara visual karya-karya Ryan terasa ‘gelap’ namun penyajiannya yang unik memberi kesan terang dan kesegaran, serta energi kontemplatif tadi, seolah mengajak audiens untuk merenungi segala dinamikan kehidupan dan esensinya, juga menyadari akan lapisan-lapisan realitas dalam kehidupan kita sebagai sesuatu yang memang harus direnungkan, bukan untuk mencari esensi kebenaran namun terutama untuk meraih ketenangan.
Slamet Zainal Effendi