Peringatan Hari Anak Internasional
RUANG IMAJINAS #2
Kids Art Ehibition
Pembukaan pameran: Sabtu, 19 November 2022, pukul 15.00 – 17.00 WIB
Pameran berlangsung: 19 – 25 November 2022, pukul 10.00 – 21.00 WIB
Workshop 'Memahami Karya Seni dengan Metode VTS Sederhana'
Selasa, 22 November 2022, pukul 15.30 – 17.30 WIB
Narasumber: Jaringan Pembelajar Mandiri (JPM)
Workshop 'Berkreasi dengan Barang Bekas bersama Bu Wiwin'
Jumat, 25 November 2022 pk 15.00 - 17.00
Tempat acara: Bentara Budaya Yogyakarta, Jl. Suroto No. 2 Kotabaru
---
Bermain dengan Gambar
Masa anak-anak adalah masa paling indah. Anak-anak dapat bermaian sepuasnya, merdeka, nyaris tanpa beban. Maklum saja, lantaran anak memang belum dibebani tugas-tugas harian yang lazim dihadapi remaja, apalagi orang dewasa.
Naluri bermain anak didorong oleh semangat belajar. Rasa ingin tahu tentang dunia di sekelilingnya membuat mereka menjelajah dengan mencoba apa saja. Melalui semua inderanya (mata, telinga, kulit, lidah, dan hidung) yang semakin peka, mereka mengendus dan menyerap semua hal di sekelilingnya. Pada obyek-obyek yang menarik, endusan itu akan lebih tajam.
Tangkapan indera anak itu kemudian diungkapkan kembali lewat berbagai bentuk. Nyanyian (audio), cerita (narasi oral), tulisan (teks), juga gambar (visual). Semuanya menjadi bagian dari ekspresi anak-anak yang cenderung otentik, apa adanya.
Di sini, kita akan lebih mengulik soal gambar. Sebagai ekspresi otentik, gambar punya fungsi penting bagi anak-anak. Tidak saja menunjukkan bagaimana anak merekam obyek-obyek di sekitarnya, lebih dari itu gambar juga mencerminkan tangkapan anak-anak atas obyek-obyek yang tidak nyata alias khayalan. Khayalan itu bisa dipicu oleh mimpi, imajinasi, atau dorongan alam bawah sadar yang menyeruak keluar, lantas muncul begitu saja dalam bentuk visual.
Dengan naluri yang masih murni, maka anak-anak memperlakukan gambar secara merdeka. Bisa saja mereka berangkat dari menggambar obyek tertentu di alam nyata. Namun, hasil karyanya tak melulu berupa tiruan (imitasi) sepenuhnya atas obyek itu. Kerap kali anak malah melukiskan respons mereka atas obyek itu ketimbang merekam bentuk asli obyek secara akurat.
Ambil satu contoh. Saat menggambar pohon, anak tidak serta merta meniru bentuk pohon secara lengkap dan utuh, dengan menampilkan akar, batang, cabang, ranting, dan dedaunan sebagaimana lazimnya. Jika mereka lebih tertarik pada ranting, maka bisa jadi gambar itu dipenuhi ranting. Pun jika kepincut dengan daun, karya mereka juga akan sesak oleh dedaunan.
Ukuran atau sekala anatomi pohon juga bisa sangat cair. Bagi anak, batang tak harus lebih besar daripada cabang. Cabang tak mesti lebih gede ketimbang ranting. Ukuran bisa sangat subyektif, luwes, cair, sangat tergantung seberapa memikat bagian pohon itu bagi anak.
Dengan kesadaran ini, maka kita tidak dapat menilai gambar anak dengan teori perspektif. Perspektif punya disiplin skala. Benda terdekat tampak lebih besar dibandingkan dengan benda yang lebih jauh. Semakin jauh benda, semakin kecil ukuran tampilannya. Lama-lama, bersamaan benda yang kian menjauh, semua obyek itu akhirnya menyatu pada satu titik hilang.
Perspektif mengandalkan rasio atau skala dengan ukuran penuh presisi. Sementara anak melihat jarak secara relatif. Benda yang menarik hati mereka bisa jadi akan ditampilkan lebih besar, meski lokasinya jauh. Sebaliknya, benda yang berada di dekatnya bisa jadi dibuat lebih kecil karena dianggap kurang menarik, walaupun lokasinya lebih dekat. Dekat atau jauh bukan melulu soal jarak yang kuantitatif, melainkan bisa bersifat kualitatif yang subyektif dan bersifat emosional.
Keluwesan juga potensial terjadi dengan warna. Anak memiliki cara pendang tersendiri tentang warna. Daun, misalnya, tak harus berwarna hijau. Daun bisa berwarna merah, kuning, coklat, bahkan hitam. Kenapa? Karena, sekali lagi, anak-anak tak sepenuhnya menjiplak, melainkan lebih merespons sesuai rasa yang menggugah hatinya.
Mereka memberi warna tak selalu sesuai apa yang ditangkap mata, melainkan apa yang dibayangkan, dipikirkan, atau dirasakan. Penuh spontanitas. Ketepatan pewarnaan menjadi tak relevan. Jika terpikat dengan warna tertentu, anak cenderung mengeksplorasinya habis-habisan. Warna-warna lain minggir dulu.
Di sini, kita tak bisa menilai karya anak dengan ilmu tata warna yang rasional dan sistematis. Atau serba pasti sesuai pandangan mata. Mustahil menuntut anak mewarnai obyek secara akurat sesuai aslinya. Tuntutan akurasi tak bisa begitu saja diterapkan untuk menilai gambar anak. Alih-alih meniru warna alam, anak-anak lebih asyik berimajinasi atau bermain dengan warna sesuka hatinya.
Begitu pula dalam pengelolaan bidang gambar atau garis. Anak-anak cenderung menjadikan bidang dan garis sebagai bahan permainan. Bidang atau garis bisa dibuat acak-acakan sekenanya. Barangkali ekspresi itu juga tak sepenuhnya mereka sadari. Mereka hanya melakukanya secara spontan.
Sekali lagi, bermain (“play”) menjadi kata kunci dalam memahami gambar anak. Apa itu “play”? Merujuk Oxford Languages, "play" diartikan sebagai “engage in activity for enjoyment and recreation rather than a serious or practical purpose” (kegiatan untuk mendapatkan kesenangan dan rekreasi ketimbang untuk mencapai tujuan yang serius atau praktis).
Bagi anak, bermain dapat diwujudkan dalam banyak aktivitas, katakanlah seperti mencoba, menjajal, menjelajah, mengeksplorasi, mengutak-atik, berpura-pura, berkompetisi, atau latihan peran. Jika naluri bermain ini diterapkan dalam gambar, maka hasilnya akan terlihat dari keleluasaan untuk mengolah berbagai anasir visual (bentuk, warna, garis, dan bidang).
Sayangnya, sebagian lomba menggambar anak-anak justru menggunakan ukuran-ukuran visual imitasi. Para juri lomba menilai gambar anak dari seberapa persis gambar itu meniru obyek. Kerapian juga sering menjadi tambahan nilai. Orientasi mengejar kemiripan dan kerapian rentan menghilangkan naluri bermain yang bebas dalam gambar anak.
Lebih parah lagi, naluri bermain anak itu kemudian tergerus seiring anak-anak beranjak menjadi remaja, dan dewasa. Sebagian besar lembaga pendidikan (dasar, menangah, dan atas) masih memahami gambar sebagai imitasi alias meniru sepersis mungkin. Semakin sama bentuk, warna, garis, bidang gambar dengan obyek yang dicontoh, maka gambar itu dianggap semakin bagus.
Padahal, dalam dunia seni rupa (“fine art”), praktik menggambar bermakna luas. Meniru hanya salah satu di antaranya. Selain meniru, menggambar juga bisa diartikan sebagai kegiatan mengeskpresikan tampilan visual secara bebas. Obyek bisa nyata, khayalan, mimpi, rekaan, atau abstrak (tanpa bentuk) sama sekali.
Di tengah tergerusnya kebebasan anak dalam berekspresi gambar, kita perlu lebih banyak menampilkan karya anak-anak yang masih otentik. Kita tampilkan lebih banyak gambar anak-anak sebelum mereka "dipaksa" menggambar ala orang dewasa yang rasional, pakai perspektif, dan berorientasi meniru. Bebaskan anak bermain dengan gambar.
Nah, semangat bermain itulah yang diupayakan dalam pameran bertajuk "Ruang Imajinasi #2" di Bentara Budaya Yogyakarta, 19-25 November 2022. Digelar untuk memeriahkan Hari Anak Internasional, pameran merupakan hasil kerja bareng Ruang Anak dan Bentara Budaya berkolaborasi. Total ada 57 seniman cilik yang memajang karyanya dalam perhetalatan ini.
Terima kasih pada semua pihak yang mendukung kegiatan ini, khususnya Ruang Anak dan teman-teman di Bentara Budaya. Selamat berpameran untuk 57 seniman cilik, terus bersemangat berkarya. Semoga publik dapat menemukan kebebasan bermain dalam gambar-gambar anak yang disajikan dalam pameran ini.
Jakarta, 16 November 2022
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya
& Communication Management Kompas Gramedia