Pameran Fotografi “Memoar Orang-Orang Singkawang”
Pembukaan pameran: Sabtu, 10 September 2022, pukul 19.00 WIB
Pameran berlangsung: 11-18 September 2022, pukul 10.00-21.00 WIB
Diskusi “Keberagaman: Sebuah Refleksi dari Sejarah dan Kebudayaan Singkawang”
Minggu, 11 September 2022, pukul 16.00-18.00 WIB
Pembicara: Romo Sindhunata, Irfan Afifi, Bina Bektiati
Moderator: Yunanto Sutyastomo
Tempat: Bentara Budaya Yogyakarta, Jl. Suroto No. 2, Kotabaru, Yogyakarta
Sahabat Bentara dapat mengunjungi pameran dan diskusi sesuai jadwal di atas. Registrasi kunjungan melalui link perdaftaran bertanda merah!
Singkawang, Sebuah Akulturasi
Bentara Budaya, yang didirikan 26 September 1982, bakal merayakan ulang tahunnya ke 40 pada tahun 2022. Selama empat dasawarsa, lembaga kebudayaan Kompas Gramedia ini memanggungkan beragam seni budaya Nusantara. Ekspresi yang memperlihatkan kemajemukan dan kekayaan negeri ini.
Untuk mensyukuri HUT ke-40, Bentara menggelar serangkaian program selama bulan Agustus dan September 2022. Dua program telah berjalan. Pertama, pameran "Ilustrasiana" di Bentara Budaya Yogyakarta, 13-21 Agustus. Kedua, pameran "Pelantang" di tempat yang sama, 26-31 Agustus.
Kini, Bentara Budaya Yogyakarta menggelar Pameran Fotografi Singkawang dengan tema “Memoar Orang-orang Singkawang”. Secara bersamaan, di Bentara Budaya Jakarta, juga dihelat Pameran "Keramik Singkawang" koleksi Bentara. Keduanya berlangsung pada 11-18 September 2022.
Apa menariknya foto dan keramik dari Singkawang? Bisa dibilang, Singkawang mewakili kematangan budaya toleransi di Indonesia. Di kota kecil berjarak 145 kilometer dari Kota Pontianak, Kalimantan Barat ini, terdapat komunitas keturunan Thionghoa yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat lokal. Mereka menjadi bagian dari denyut nadi warga setempat sekaligus tetap memiliki identitas sebagai anak cucu imigran dari China.
Jejak kehadiran komunitas ini terlacak dalam sejarah yang panjang. Tino Saroengallo pada pengantar katalog pameran "Naga Singkawang" di Bentara Budaya tahun 1988 mengutip buku "Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat" tulisan Machrus Effendi. Disebutkan, sebagian warga China sudah menetap di Kalimantan barat sejak abad ke-12. Sumber lain menyebut abad ke-13. Mereka berdatangan ke Kalimantan Barat awalnya untuk berdagang.
Pada perkembangan berikutnya, terutama abad ke-18, semakin banyak pekerja dari China mengisi kebutuhan tenaga pertambangan emas. Sebagian dari mereka kemudian menetap di Kalimantan Barat, termasuk Singkawang. Kultur China kemudian melebur dengan budaya setempat.
Dari sisi nama, misalnya, ada satu versi sejarah (Nurhadi Rangkuti, "Membedah Perut Naga Singkawang": Bentara Budaya, 1988) yang mengungkapkan bahwa nama Singkawang berasal dari istilah China, "Sang-Keu-Jong," yang berarti "kuala dan gunung". Ini merujuk pada kondisi kota tersebut yang terdiri dari dataran rendah daerah pantai yang dilingkungi bukit dan gunung. Lambat laun, istilah "Sang-Keu-Jong" itu kemudian dilafalkan menjadi Singkawang, seperti sekarang.
Namun, hubungan komunitas keturunan Tionghoa dan warga lokal juga kerap bergejolak. Masih mengacu catatan Tino Saroengallo, ada beberapa kali konflik yang sempat mengusik keharmonisan di daerah itu. Saat kongsi tambang emas dari komunitas ini menguat, pada abad ke-19, Raja Sambas di Kalimantan Barat meminta bantuan Belanda di Jawa untuk menekannya. Belanda kemudian memonopoli pertambangan emas, sementara warga China terdesak ke pedalaman dan bertani.
Pada awal Orde Baru, pemerintah memaksa warga keturunan Tionghoa bergeser dari pedalaman ke perkotaan. Sempat pula meletup konflik antara komunits itu dengan Suku Dayak. Banyak anggota komunitas China yang menjadi korban dalam kerusuhan. Berbagai peninggalan bersejarah juga turut dihancurkan. Sebagian dari mereka bahkan sempat mencoba balik lagi ke negeri Tirai Bambu, meski kondisi di sana juga tak sepenuhnya seusai harapan.
Namun, seiring perjalanan waktu, hubungan itu kemudian membaik kembali. Terlebih, saat Presiden Abdurrahman Wahid menghapus aturan yang membatasi ekspresi komunitas keturunan Tionghoa. Mereka pun bebas mengungkapkan akar kebudayaan leluhurnya. Apa yang selama ini tertekan oleh dinamika sejarah, kemudian dapat ditampilkan kembali dengan leluasa.
Kini, wajah Singkawang benar-benar mencerminkan pertemuan dua budaya. Komunitas keturunan Tionghoa saat ini memiliki dua nafas sekaligus. Baik sebagai warga keturunan Thionghoa sekaligus warga negara Indonesia, keduanya menyatu dalam satu tarikan nafas. Tidak ada saling menegasikan, melainkan justru saling memperkuat. Budaya leluhur mereka masih lestari dan dihargai. Mereka pun telah beradaptasi dan menghormati budaya warga Kalimantan.
Dalam kajian kebudayaan, Singkawang mewakili apa yang disebut sebagai hasil proses akulturasi. Akulturasi merupakan proses perpaduan antara dua kebudayaan atau lebih sehingga melahirkan bentuk kebudayaan baru oleh suatu kelompok masyarakat tanpa menghilangkan ciri khas masing-masing. Budaya China dan Kalimantan bertemu, keduanya masih sama-sama memiliki jejak kuat, sekaligus melahirkan bentuk budaya baru hasil pertemuan itu.
Akulturasi menawarkan tampilan luar (lahir) dan dalam (batin) yang sama-sama menarik. Dari luar, lazimnya akulturasi ditandai penampakan visual (warna, bentuk, komposisi, garis) hasil ramuan antara dua ekspresi budaya yang berbeda. Ramuan itu kerap membawa penampakan yang segar, unik, bahkan mengejutkan.
Singgungan itu semakin kuat ketika ditopang kerelaan dalam batin untuk menerima dan bersahabat dengan kebudayaan yang berbeda. Kerelaan ini hanya muncul jika dua pihak yang sama-sama membuka diri untuk dipengaruhi dan memengaruhi. Semacam keinginan untuk bertemu dan melebur menjadi satu.
Singkawang sebagai hasil akulturasi diperlihatkan jelas oleh foto-foto dalam pameran di Bentara Budaya Yogyakarta, serta pameran keramik di Bentara Budaya Jakarta. Dari foto-foto yang diterbitkan dalam bentuk buku "Memoar Orang-orang Singkawang" (Yayasan Singkawang Luhur Abadi-Yayasan riset visualmataWaktu, 2022), kita menemukan jejak-jejak pahit-manis sejarah di daerah ini. Foto-foto kian menarik karena dilengkapi hasil penusuran tentang warga Singkawang yang telah bermigrasi mencanegara (seperti China, Hongkong, atau Singapura), tetapi tetap mempertahankan ikatan emosional dengan “kampung halamannya” di Singkawang.
Foto-foto di Sinkawang menampakkan kekayaan sejarah visual yang kuat. Ada sosok-sosok yang mewakili getir masa lalu (sebagian sudah berusia lanjut). Arsitektur (rumah, kelenteng, sekolah, pelabuhan, bioskop, lapagan olahraga, makam, toko). Beragam penganan (kuliner). Portet manusia dari album keluarga. Karya seni (lukisan, poster, sampul buku). Pentas budaya (Festival Cap Go Meh, Hari Raya Imlek). Pun banyak dokumentasi kehidupan sehari-hari.
Dari gerabah maupun keramik kita mendapatkan jejak-jejak masa silam yang masih melekat pada berbagai bentuk kerajinan dari tanah liat yang dibakar. Ada upaya untuk melestarikan tampilan keramik kuna China, tetapi juga hasrat memproduksi bentuk-bentuk yang lebih praktis dan modern untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu antara lain diwakili oleh guci, piring, pasu, mangkuk, tempayan, pot bunga, dan tungku perdupaan. Pameran saat ini merupakan pengemasan ulang dari pameran keramik Singkawang bertema "Naga Singkawang: Tradisi Pembuatan Keramik Kuna yang Tersisa di Indonesia" yang pernah digelar Bentara tahun 1988.
Pameran fotografi di Bentara Budaya Yogyakarta dan gerabah di Bentara Budaya Jakarta yang sama-sama mengangkat akulturasi di Singkawang menandai komitmen lembaga ini untuk terus mengawal budaya Nusantara. Komitmen yang terus dijaga saat lembaga ini berusia 40 tahun dan semoga dapat dilanjutkan pada masa-masa berikutnya.
Terima kasih untuk para fotografer, Yayasan Singkawang Luhur Abadi, Yayasan riset visualmataWaktu, serta Pewarta Foto Indonesia (PFI), serta tim Bentara Budaya yang telah bahu-membahu untuk mewujudkan pameran ini.
Ilham Khoiri
GM Communication Management & Bentara Budaya