Wajah Perempuan April
Seperti semua hal yang berulang, bulan April punya kisah yang ajeg. Ini bulan Kartini. Yang terbayang adalah para siswi mengenakan busana tradisi ke sekolah, ikut upacara kebangsaan, dan menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini.
Tidak jarang para pegawai menyelenggarakan upacara “kartinian” di kantor-kantor pemerintah sejak di Jakarta sampai ke provinsi yang paling ujung. Media massa termasuk radio, koran, majalah, dan televisi, sibuk berburu program yang sekiranya sesuai. Warga di berbagai kota membuat diskusi, lomba, atau hajatan seni, yang merujuk pada semangat emansipatoris tersebut.
Pameran seni rupa berjudul “Gores Garis Perempuan” diselenggarakan pada bulan April. Semua peserta, sebanyak 48 orang, adalah seniman perempuan. Meski demikian pameran ini tidak dirancang untuk secara penuh menggelorakan daya perjuangan kaum perempuan dengan huruf kapital “P” berukuran besar. Yang ingin diperlihatkan bukanlah seberapa tinggi sudah kesadaran perempuan akan posisinya sendiri di tengah zaman. Tidak pula berfokus pada kegembiraan berbantah tentang berbagai gerakan penyetaraan peran. Juga jauh dari keasyikan bermain wacana tentang perempuan, yang sudah lama menghiasi ruang-ruang diskusi atau perkuliahan. Satu hal lagi, hajatan seni ini lebih merupakan pertanggung-jawaban Bentara Budaya untuk secara berkala menampilkan koleksinya ke hadapan masyarakat. Seperti diketahui, karya-karya seni rupa, baik berupa karya-karya empu dan seniman senior serta generasi berikutnya, telah memenuhi ruang koleksinya. Semua dirawat bersama dengan guci dan piring keramik asal Cina, gerabah dari berbagai wilayah Nusantara, artefak budaya dari berbagai zaman, maupun benda-benda bersejarah. Banyak karya seni rupa itu yang dikerjakan oleh perempuan seniman. Cukup banyak jumlahnya untuk dipajang secara pantas di hadapan publik. Pameran ini adalah kesempatan untuk menampilkan “bagian perempuan” dari koleksi tersebut.
Anda bisa menemui karya Kartika yang kini berusia 87 tahun maupun Ratmini yang menjelang 97 tahun. Ada lukisan Masmundari yang meninggal pada tahun 2005 dalam usia 100 tahun. Ada pula karya para perempuan seniman yang juga sudah berpulang seperti Muntiana dan Ida Hajar. Namun tampil juga lukisan oleh tangan-tangan mungil seusia SD. Begitu beragam, baik dari asal generasi berikut kondisi semasa, maupun latar pendidikan, dan jam terbang. Keragaman terlihat di dalam teknik dan gaya ungkap yang mereka gunakan. Juga beragam di dalam issue-issue yang digarap. Seorang anak SD tentu tidak diharap berfikir dan merasakan hal yang sama dengan senior yang seusia neneknya. Keragaman ini yang diniatkan untuk memberi kesan betapa kaya kehidupan yang dijalani para perempuan seniman tersebut. Betapa hari-hari yang dilalui sebagai perempuan, kebanyakan selaku istri dan sekaligus sebagai ibu rumah tangga, terlalu berharga untuk diabaikan. Karya-karya mereka mencerminkan cara perempuan memandang dunianya, tak soal apakah itu merupakan cerminan ide-ide besar atau gerundelan perkara domestik.
Dua yang paling sepuh telah memperlihatkan itu. Kartika memotret satu sudut kehidupan dalam tangkapan langsung di sebuah terminal kereta kuda. Pada masa sekitar tahun pembuatannya, 1973, menggambar atau membuat sketsa di tempat adalah metode yang dipujikan. Mahasiswa seni diminta membuat 500 sketsa setiap satu semester. Acara melukis bersama di luar ruang (plein air) yang berasal dari kebiasaan abad ke-19 di Perancis itu sampai sekarang masih merupakan kegiatan favorit di berbagai komunitas seni kita. Ratmini melakukan abstraksi terhadap serangkaian pepohonan dan menonjolkan bidang-bidang warna. Ini laku yang populer pada masa di sekitar tahun pengerjaannya, 1977. Pilihan warna biru dan kelabu redam memperkuat tema kesepian atau keterasingan manusia modern di balik kemajuan industri. Pelukis Salim banyak bersoal dengan perkara itu sampai akhir hayatnya tahun 2008 sebagai diaspora Indonesia di Paris. Aliran surealisme pernah marak di Yogya dan berbagai wilayah subur seni rupa lain. Salah satu eksponennya tentulah harus disebut Lucia Hartini (l. 1958). Lihatlah bagaimana ia mampu mendayagunakan unsur-unsur domestik (misalnya wajan atau penggorengan) untuk ikut berbicara tentang perkara mikrokosmos dan makrokosmos. Sebutlah itu dalam karyanya “Wajan Mendidih di Samudera” yang dikerjakan tahun 1982, yang menjadi bagian dari koleksi ini. Perjalanan kreatif Lucia sudah lebih jauh dari pencapaiannya 40 tahun yang lalu tersebut, dan kita mencatat salah satu tonggaknya. Yang sungguh kuyub dengan percaturan tentang diri (dan tentu juga tubuh) perempuan adalah Laksmi Shitaresmi (l. 1974). Lukisan dan patung-patungnya bermain dengan politik tubuh yang menyolok, terkadang terkesan rumit, namun pesannya jelas. Dyan Anggraeni (l. 1957) tampil lebih lunak, namun terkadang menusuk. Orang gampang mengingat karya seni instalasinya dengan susunan peniti raksasa (yang mewakili perkara individual dan rumah tangga) terbeber dan mengancam ke ruang publik. Yang ditampilkan kali ini adalah karya-karya lukis .Tampil juga kali ini sejumlah karya trimatra. Beberapa dibuat dengan stoneware, tanah liat yang dibakar pada suhu tinggi. Yang lain berupa karya keramik. Bisa juga sesungguhnya merupakan sesuatu bentuk yang “terberi”. Contohnya adalah Masmundari, yang seumur-umur mengerjakan lukisan lampion “damar kurung”. Bagi perempuan perkasa yang terus bekerja sampai fisik tidak berdaya ini, melukis adalah seperti yang dilakukannya. Naif bukan hanya di dalam mengkonstruksi gambar di kertas, tetapi merupakan seluruh pandangan dunianya, yang merupakan cerminan dari pengalaman hidup.
Begitulah, hajatan seni ini tidak diniatkan untuk memberi statement menohok tentang perempuan yang sudah menjadi ciri bulan April. Ini lebih merupakan sekilas wajah perempuan di bulan April. Wajah perempuan sehari-hari. Mungkin juga yang hanya berurusan dengan remeh temeh, namun tidak tertutup kemungkinan berbicara tentang perkara-perkara sosial budaya yang canggih.
Hidup tidak pernah seremeh temeh yang kita bayangkan.
Jakarta, 10 April 2022
Efix Mulyadi, Kurator Bentara Budaya