“Ia pamit tidak bisa ikut rapat karena kesehatannya, ternyata pamit untuk selamanya. Semoga Ipong beristirahat dengan tentram dalam istirahat abadinya”.
Itu potongan kalimat Romo Sindhunata dalam grup WA kurator Bentara Budaya. Kalimat lainnya: “Ya Allah, kok cepat sekali. Kemarin masih mendengar suaranya dan berkata-kata dengan kita. Sekarang sudah tiada…”
Ipong Purnamasidhi tutup usia 9 November 2021 sekitar pukul 10.00 Wita di kawasan Tegal Alang, Ubud, dan dimakamkan sore harinya di kabupaten Gianyar, Bali. Satu hari sebelumnya, pelukis, pembuat kulit muka buku, dan illustrator tetap cerpen Kompas tahun 1990-an itu, masih berusaha hadir dalam rapat jarak jauh para kurator Bentara Budaya, namun fisik tidak mendukung.
“Saya lihat bapak tidak mampu untuk mengetik pesan berpamitan kepada peserta zoom-meeting. Akhirnya saya yang mengetikkan pesan tersebut,” tutur menantunya, pegrafis Agung Prabowo, yang melihat pelukis itu tersengal meskipun sudah mengenakan alat bantu nebulizer.
Keluarga termasuk isterinya Heriyati melihat Ipong dalam posisi tidur yang tenang. “Tidak ada kesan kesakitan,” tambah Agung. Ia menambahkan mertuanya sudah lama bermasalah dengan paru-paru dan kemudian ditambah jantung. Bahkan sakit paru itu sudah lama menjadi ancaman terus menerus, dan membuatnya sering keluar masuk rumah sakit. Katanya mengutip penjelasan dokter, “kondisinya sudah PPOK, penyakit paru obstruktif kronis”.
Tidak ada satu pun peserta rapat tersebut yang siap mendapat kabar duka itu. Beberapa tahun terakhir memang kondisi Ipong ringkih. Tidak aneh kalau tiba-tiba ia pamit atau minta istirahat sebentar di tengah kegiatan. Semua menganggap sesudah istirahat ia akan baik-baik saja seperti biasanya.
Sampai detik ketika saya menuliskan kenangan ini, kepergian Ipong masih terasa seperti mimpi. Kemarin masih bersapa. Bahkan terdengar tertawanya. Menurut Frans Sartono, kurator yang lain, Ipong geli karena saya yang “gaptek” ketahuan tidak bisa mengoperasikan zoom.
Namun pada dasarnya Ipong tidak pernah mentertawakan orang lain, sepanjang saya kenal. Ia tertawa karena konteks dan makna akibat berbagai relasi yang saling kait, bukan karena sosok atau kekerdilan atau kebebalan atau kesialan seseorang semata. Itu sebabnya lelucon yang ia sukai adalah lelucon yang cerdas, yang sekaligus menyeret berbagai riwayat kesejarahan dan sosial budaya, yang terkait dengan berbagai makna dan dengan demikian mensyaratkan pra-kondisi para penikmatnya. Salah satu favoritnya adalah lawakan Basiyo, seorang maestro lelucon dari Yogya. Sering ia memasang ucapan atau ungkapannya di grup WA sahut menyahut dengan kurator yang lain. Ia lupa kalau tidak semua warga grup memahami Bahasa Jawa, yaitu bahasa yang digunakan oleh Basiyo dan kawan-kawan, namun justru itu yang membuatnya semakin geli.
Mungkin ia menganggapnya sebagai proses resepsi sebuah karya dalam budaya baru kita yang bernama serem yaitu “seni kontemporer”. Di situ laiklah berbagai laku dan cara pandang yang multi tafsir, atau menafsir ulang atas tafsir dari karya aslinya yang sebenarnya sudah merupakan tafsir oleh para individu atas kehidupan dan lingkungan sosialnya. Kalau orang menjadi pusing, itulah mungkin salah satu tujuannya. Dan ia menikmatinya.
Ia juga sangat terhibur ketika seseorang seharusnya merasa “tertipu”. Ipong adalah penggemar masakan Minang. Hampir satu minggu ia setiap hari mengajak saya untuk makan siang nasi padang dan suatu kali melahap makanan yang ternyata tidak “asli”. Belakangan sesudah ngobrol dengan pengelola warung itu ia baru tahu kalau yang memasak urang Sunda. “Orang Jawa makan nasi padang perantauan di Bali, yang dimasak oleh orang Sunda. Bayangkan,” katanya sambil terbahak.
Pada masa itu, pertengahan 1990-an kami berdua sering ke Bali bersama. Ipong mewakili Bentara Budaya dan saya bertugas liputan sebagai wartawan Kompas. Satu kali kami berdua nonton pameran karya rupa Made Wiyanta. Saya tahu ia dekat dengan perupa kenamaan tersebut dan juga dengan mbak Intan isterinya yang disebutnya “orang Taman Siswa” --- perguruan swasta di Yogya yang model pendidikannya khas.
Pada pokoknya ia menaruh hormat. Namun ketika kami menuliskan ulasan atas pameran tersebut untuk suratkabar Kompas muncul tabiat jahilnya. Beberapa lukisan Wiyanta tampil dengan taburan titik-titik warna memenuhi berbagai bentuk seperti segitiga dan lainnya. Ia menyebutnya sebagai “Wiyanta.com” menyitir istilah yang saat itu mulai populer untuk menandai alamat sesuatu situs web. Tentu saja kami tidak menulis lebih jauh misalnya tentang rumor yang beredar luas bahwa sejumlah karya “dot com” tersebut digarap oleh para artisan. Gurauan Ipong mempunyai rem yang pakem.
Dalam urusan dengan sesama seniman, setahu saya ia memang tidak pernah mencela karya orang lain. Kita bisa mendengar seseorang pelukis menyebut karya si A atau si B kurang matang, terlalu permukaan, tidak punya bobot, dan seterusnya, tapi tidak dari Ipong. Ketika menjuri sebuah kompetisi seni lukis kami bertiga (juri lain adalah Eddy Soetriyono) berdebat panjang tentang kehebatan atau keburukan empat karya unggulan. Saya dan Eddy rajin bicara tentang kelemahan, tapi Ipong mengambil jalan memutar untuk pada akhirnya tiba pada kesimpulan (yang tidak ia sampaikan) bahwa memang lukisan tersebut paling jelek.
Begitulah Ipong, yang menjunjung tinggi tali persahabatan. Tak heran karib dan sahabat bertebaran di pojok manapun, terutama di Yogya dan Bali. Setiap kali kami ke Bali ia selalu mengajak untuk menengok bapak Ktut Nama, seorang pelukis yang sempat berhubungan pribadi dengan bapak PK Ojong pada masa awal mengumpulkan lukisan dari Bali. Sejumlah karya maestro lukisan Bali tersebut kini menjadi bagian penting dari koleksi seni yang disimpan oleh Bentara Budaya. Katanya seperti berpesan, “Pak Ktut Nama berjasa kepada Kompas Gramedia”.
Di Surabaya ketika menyambangi empu lukis damar kurung, ibu Masmundari, Ipong menunjukkan kapasitas yang lain. Ia tampak sangat sabar mendengar cerita panjang nyonya rumah, dan memberi kesan sangat memaklumi. Kesabarannya berlanjut ketika Bentara Budaya menggelar karya-karya lampion bergambar gaya naif tersebut. Ipong mengikuti keinginan rombongan Surabaya, mengantar mereka berkeliling Jakarta, bersantai di Taman Impian Ancol, dan seterusnya. Di sepanjang jalan ia harus tekun mendengarkan ceritanya.
Wajah yang berbeda saya pergoki ketika ia mengalami konflik dengan seorang seniman, sahabatnya sejak muda, yang menyakiti hatinya dalam sesuatu urusan mengikuti pendidikan seni di sebuah negeri. Lebih baik tidak saya sebutkan nama individu maupun lembaga pendidikan tersebut, namun yang penting adalah Ipong bisa marah dan bersuara keras. Namun sekali lagi, ia tidak mencela karya seni teman sejak muda itu.
Gampang bergaul, murah ketawa, dan kesetiaannya berteman membuatnya populer dalam berbagai kalangan. Ada yang belum kita rembug di sini, yaitu tentang kekaryaannya. Sketsa, ilustrasi, grafis, dan lukisan rupanya merupakan wajahnya yang lain lagi. Yang selalu menonjol dalam kertas atau kanvasnya adalah sekumpulan garis yang ditarik menjadi berkarakter kuat, tegas dan seringkali keras. Orang sering menyebutnya “ekspresif”.
Langgam, gaya, dan metode Ipong dalam melukis menghasilkan karya-karya yang khas. Figur-figur yang dipilihnya mendapat perlakukan deformatif yang begitu lanjut, namun umumnya selalu terasa pas.
Maka kita bisa melihat sosok-sosok dengan atribut badut misalnya tampil dalam berbagai judul, komposisi, aksi, gaya yang beragam, dengan tabrakan warna warni primer yang sering mengejutkan. Itulah Ipong.
“Itu Ipongisme,” komentar Gus Her, seorang pelukis yang merupakan adik kelasnya di STSRI “Asri”, kini Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.
Apakah “Ipongisme” hanya merupakan ungkapan keakraban atau bakal menjadi semacam gaya yang dikukuhkan di dalam pergaulan kreatif seni rupa, waktulah yang akan menentukan.
Kini yang terakhir. Sampai sekarang saya masih menduga bahwa badut itu adalah alter-egonya. Sang badut adalah dirinya di dalam dimensi yang berbeda. Badut tampak dengan mulut tertawa dan mata yang menangis. Itu kombinasi yang potensial menciptakan situasi dan atmosfer yang begitu kaya, dan lahan subur untuk menumbuhkan berbagai ekspresi yang dikehendaki. Ipong mungkin merasa terjebak di dalam peran itu: menyadari kerentanan fisik sekaligus semangat berkesenian yang terus berkobar. Menangis dan tertawa sekaligus.
Ipong kini sudah tenang terbaring di wilayah jelajah yang dicintainya yaitu Bali. Selamat beristirahat dalam damai sahabat.
Jakarta, 10 November 2021